Zakaria, Korban Pembangunan Yang Terabaikan
Oleh Ibnu Sa’dan
WAKTU berputar. Masa pun berganti. Zakaria, 35, yang dudlunya segar bugar, sekarang terpaksa berjalan seperti orang menari. Dia tidak bisa lagi menjaga keseimbangan badannya, sejak satu kakinya yang sebelah kiri diamputasi. Nasib miris yang dialaminya ini, akibat menjadi korban pembangunan yang terabaikan. Dia terjatuh dari jembatan yang sudah lama rusak di desa tempat tinggalnya, Matang Cengai, Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa.
Dulu, sebelum peristiwa itu terjadi, petani miskin yang tidak punya kebun sendiri ini hidupnya berjalan normal. Meskipun kerjanya serabutan, namun dengan kedua kakinya yang masih utuh dia dapat mengandalkan tenaganya untuk mencari nafkah, untuk menghidupkan lima jiwa yang berada di bawah tanggungannya. Seorang istri, tiga orang anak, dan ditambah seorang ibunya yang sudah uzur.
Sejak tahun 2001, bertepatan dengan tahun lahirnya Pemerintahan Kota Langsa, hidup Zakaria yang memang sudah melarat bertambah semakin hancur. Dia sama sekali tidak bisa lagi mencari nafkah. Bahkan hampir setahun lamanya, dia hanya bisa berbaring di atas tempat tidur. Sebelum kakinya dipotong di Rumah sakit Umum Langsa.
Sekarang dalam rumah yang berukuran lebih kecil dari kamar kerja seorang pejabat setingkat kepala, pada salah satu instansi di Pemko Langsa, dia berkumpul dalam satu ruangan yang tanpa sekat. Ketika hujan turun, semua anggota keluarga itu, harus berpencar dan sibuk merebut tempat berlindung. Karena atapnya yang terbuat dari daun nipah banyak yang sudah luruh, tinggal lidinya saja. Sehingga remebesan air hujan mengucur bebas ke dalam rumah, membasahi lantainya yang masih asli berupa tanah.
Ketika Waspada berkunjung ke tempat tinggalnya, di Desa Matang Cengai itu, Jumat (31/10), Zakaria bercerita tentang keluhkesahnya. Mulai kisah tentang penyebab hilang salah satu kakinya, hingga pada harapan untuk bisa mendapat bantuan sebuah rumah yang layak huni dari pemrintah. Karena untuk membangun sebuah rumah dengan biaya sendiri, dalam kondisnya sekarang ini, sama sekali terasa sudah tak mungkin baginya.
“Sebelum dipotong, selama empat bulan saya merasa sakit tak terperi,” demikian Zakaria mengawali cerita tentang kakinya itu.
Karena ketika terjatuh dari Jembatan, dan masuk ke sungai bersama dengan sepeda pada Tahun 2001 itu, kata Zakaria, dirinya sempat salah menduga. Dia menyangka kakinya hanya terkilir, sehingga selama empat bulan terus menerus dia hanya berobat kepada dukun patah. Karena lama tak sembuh-semuh, dan rasa sakit semakin parah, akhirnya dia dibawa keluarganya ke RSU Langsa untuk dironsen.
Hasil dari pemeriksaan dengan sinar X itu, ternyata menunjukkan kakinya itu sudah membusuk. Sehingga doktor yang memriksa menyarankan untuk dilakukan amputasi. Dengan berat hati, Zakaria pun merelakan kakinya dipotong, sehingga ketika berjalan sekarang dia harus dibantu dengan sebatang tongkat.
“Begitulah ceritanya,” kata dia dengan nada yang sendu. Zakaria memang telah menjadi salah seorang korban dari proyek pembangunan yang terabaikan. Karena jembatan yang menghubungkan desanya dengan dunia luar itu sebanarnya sudah sangat lama mengalami kerusakan yang parah, dan hingga kini, setelah tujuh tahun berlalu, belum juga ada tanda-tanda akan diperbaiki.
Nasib jembatan itu, hampair sama juga dengan nasib yang dialami Zakaria, keberadaannya benar-benar seperti terabaikan. Walapun Pemerintah Kota Langsa sudah memperingati HUT-nya yang ke tujuh, dan Zakaria sudah tujuh tahun hilang kaki kirinya, tapi perhatian untuk kemsalahatan rakyat marginal belum juga sempat diberikan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar