Lazada Philippines

Kursus Bahasa Inggris Kilat

Sabtu, 25 Juni 2011

Ingin Sukses Menulis? Ini Kuncinya!


Sukses menulis, siapa yang tidak mau. Sukses dalam menulis tentunya adalah sebuah prestasi tersendiri yang di dalamnya terkandung kepuasan batin bagi sang penulis. Saya sendiri seringkali termotivasi untuk terus menulis ketika menuai kesuksesan dari apa yang telah saya tulis. Namun, saya sadar saya bukan apa-apa dan tidak bermaksud untuk menggurui. Dalam hal ini saya hanya merasa tergelitik untuk sekedar berbagi pengalaman saya mengarungi dunia penulisan. Jadi ini bukan teoritis tapi lebih kepada berbagi fakta. Oleh karenanya, apa yang saya paparkan di sini adalah hasil pengalaman saya selama beberapa tahun dalam menekuni hobi menulis.

Sebelum berpanjang lebar untuk mengulas bagaimana kunci sukses menulis, saya ingin menetapkan terlebih dahulu bingkai kesuksesan yang saya maksud. Simpel saja, saya menggunakan standar definisi dari kamus Bahasa Indonesia dalam mengartikan sukses, Sepakat ya…? (salaman dulu, Ok! ;).

Arti sukses dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: berhasil; beruntung. Nah, berbicara sukses yang berarti berhasil atau beruntung, maka saya hanya akan berbagi pengalaman saya yang berhubungan dengan berhasil dan beruntung, entah itu berhasil menarik minat baca orang lain atau beruntung karena mendapatkan buku gratis dan honor tulisan (ini dia yang paling saya harepin buat tambahan bayar uang kuliah :P).

Ok, langsung saja saya ceritakan bagaimana langkah-langkah sukses itu bisa datang dari beberapa naskah yang saya tulis dan bagaimana akhirnya saya bermetamorfosa dalam dunia tulis-menulis (Cekidot!):

1. Niat

Ini bukan basa-basi, tapi ini pengalaman pribadi (curcol, bo!). Segala sesuatu dimulai dari niat, oleh sebab itu ada ungkapan, “Perbuatan itu tergantung dari niatnya.” Ya, karena pertama kali saya meniatkan untuk mulai menulis setelah mendapatkan motivasi dari senior saya di organisasi. Waktu itu dia bilang, “Apa yang sudah kamu lakukan setelah kamu diangkat jadi sekjen (baru jadi pejabat nih ceritanya)?”

“Sebaiknya kamu buat blog dan sering kirim tulisan ke media massa, karena itu berguna buat ketajaman kamu menganalisa masalah dan ketika kamu melamar kerja. Dengan begitu, kamu ga perlu repot nulis CV panjang-panjang atau berceloteh sampai berbusa, kalau kamu melamar kerja cukup tulis saja alamat blog kamu dan biarkan perusahaan tersebut cari tahu siapa kamu dari internet.”

Nah, singkat cerita karena motivasi itu saya mulai meniatkan untuk menulis. Saya niatkan menulis untuk menanam sukses yang akan dituai suatu saat nanti. Tidak lama setelah itu saya mulai menulis di blog, web organisasi yang saya pimpin dan mengirim tulisan ke beberapa media. Lalu, apakah saya sudah memanen apa yang saya tanam? Sebagiannya ya! Tulisan saya di situs organisasi sempat juga membuat Menkes ketar-ketir karena banyak di copas dan bisa memicu aksi mahasiswa. Beberapa tulisan sempat memperoleh reward dari beberapa perusahaan media dan ini cukup berkesan bagi saya. Sebelum lulus kuliah saya sudah ditarik untuk membantu di sebuah media cetak tanpa proses melamar kerja dan kirim CV. Bahkan beberapa waktu lalu saya sempat ditawari pekerjaan di sebuah penerbitan karena sebuah artikel di Kompasiana. Hanya, karena letaknya jauh di kota Solo, akhirnya saya tidak mengiyakan tawaran tersebut.

2. Mulai dari yang Paling Kecil

Banyak orang yang memiliki mimpi besar namun mimpinya tidak pernah terealisasi karena terbawa angan menulis yang terlalu wah…, ini berlaku juga dalam dunia menulis. Dalam hal ini saya jadi teringat celetukan dosen saya waktu saya sampai harus bergadang berhari-hari menyelesaikan proposal penelitian untuk ke Diknas. Dia bilang begini, “Kalian ga sadar sudah bisa buat prosposal program penelitian, itu semua dikerjakan sedikit-sedikit selama berhari-hari dan ga kerasa kalian sudah bisa menulis sampai 30 lembar, artinya kalian juga sebenarnya bisa buat buku.”

Ya, sampai sekarang saya ingat terus kata-kata itu. Kebetulan beliau juga cukup produktif menulis buku ajar. Logikanya, dengan memulai dari sesuatu yang kecil dan ditabung sedikit demi sedikit, kumpulan artikel pun bisa jadi buku. Pesan ini yang membuat saya akhirnya terus menulis dari setiap ide kecil yang saya fikirkan.

Sekedar berbagi pengalaman. Beberapa waktu lalu saya mendapat tugas meresensi sebuah buku. Setelah saya baca, ternyata buku tersebut adalah kumpulan artikel yang pernah dimuat secara berkala di sebuah media massa. Oleh karenanya, kalau ternyata kita punya hobi membuat cerpen, ngeblog aja yang rajin di kompasiana. Apabila semua tulisan tersebut bisa diterima dengan baik oleh pembaca, kita bisa kumpulkan naskah tersebut dan membuatnya menjadi sebuah novel. Satu lagi kelebihan menabung tulisan dengan cara ini adalah, kita telah dapat menganalisa respon baik dari pembaca sebelum buku diluncurkan. Artinya, mimpi “Best Seller” sudah di separuh genggaman tangan (Cihuyy…!!!, ngarep.com).

3. PeDe Aja Lagi

Kebanyakan pemula ga PeDe dengan hasil karyanya. Untuk kasus ini saya punya pengalaman lucu. Beberapa waktu lalu saya sempat ngobrol dengan adik tingkat saya di kampus. Saya waktu itu berpesan, karena dia juga pimpinan wilayah di organisasi yang dulu saya sempat pimpin maka saya sarankan dia rajin menulis.

“Mau bikin blog, kirim ke majalah, atau sekedar share di facebook ga masalah, yang penting nulis,” gitu saya bilang. Dia langsung merespon, “gue udah nulis kak, tapi ga gue publish. Tulisannya banyak di rumah gue.” Langsung konek ke hati, “Oh My God! Helloow!! Hari Gini Masih Minder?”

Ternyata adik kelas saya itu ga PeDe sama semua yang dia tulis, walau dia sudah menulis berlembar-lembar. Dalam hati saya jadi tertawa cekikikan… “Dia ga tau apa yang gue tau.” (kontan ngomong dalam hati). Akhirnya saya bilang, “kalau kita tidak pernah membiarkan orang menilai, bagaimana kita bisa tahu dimana kelemahan karya kita? Kalau tanpa koreksi gimana mau berkembang. Posting aja lagi…”

Mau bongkar rahasia lagi nih! Selama saya membantu sebuah media cetak, beberapa kali saya menerima naskah dari orang-orang dengan titel panjang, kalau bisa dibilang mereka ahlinya dalam dunia kesehatan, lah. Ternyata naskah yang mereka kirimkan itu harus dirombak total, dan sering saya yang harus mengerjakan perombakannya supaya enak dibaca. Banyak orang yang bertitel atau secara praktikal mereka ahli, tapi mereka belum tentu pandai dalam menulis. Bahkan saya sempat menerima pengakuan dari seorang peneliti bergelar Magister ilmu kesehatan yang menyatakan, “Saya menyerah kalau disuruh menulis.” Kesimpulan saya dari masalah ini, “Ahli dalam profesi belum tentu ahli dalam menulis narasi, jadi…PeDe aja lagi!”

Kebanyakan media cetak yang bernama majalah atau tabloid tidak terlalu ketat dalam menyeleksi tulisan yang masuk ke redaksi, mangkanya saya lebih senang kirim naskah ke majalah atau tabloid daripada kirim opini ke koran. Tapi yang pasti, saya tetap PeDe, kalau ada tulisan nganggur dan kayaknya cocok dikirim ke Koran, ya…saya kirim aja, toh ga dosa dan ga rugi juga kalo ga dimuat.

4. Buat Judul yang Nge-BooM

Bikin judul yang ngeboom? Ya, istilahnya buat orang penasaran. Tapi saya akui saya kurang ahli dalam masalah ini dan masih harus banyak belajar. Namun beberapa tulisan saya ternyata berhasil membuat orang penasaran dan beberapa pembaca sempat mengatakan akan menanti tulisan terbaru saya di media cetak tersebut. Dalam hal ini saya hanya berpegangan pada dua teori yang sering berlaku dalam jurnalistik. Pertama, buat judul yang mudah diingat orang. Kedua, Judul baiknya tidak lebih dari enam kata, itu saja…enough.

5. Tulislah sekarang juga!

Saya sempat berdiskusi dengan seorang rekan saya. Saya bilang begini, “Katanya mau nulis, koq belom nongol juga tulisannya?” Dia bilang, “Gue belom ketemu datanya, nanti kalo udah kekumpul semua baru ditulis.” (Knocked by Hammer, Prakk!!)

Ya, beberapa orang yang saya temui punya karakter seperti itu. Mereka lebih perduli pada sebuah data daripada mengabadikan sebuah gagasan yang fresh. Intinya, jangan biarkan gagasan itu menguap karena waktu. Saya sendiri seringkali mencatat gagasan dimana pun saya sempat supaya tidak menguap. Kadang saya ketik dan disimpan di flashdisk atau kalau waktunya luang saya langsung selesaikan sampai jadi sebuah tulisan. Kadang malah kalau tidak sempat, saya catat di status facebook :P. Beberapa rekan saya yang punya blog malah menuliskan perjalanan aktivitasnya hari itu ke dalam blog mereka, dan saya cukup enjoy membacanya. Artinya secara tidak langsung, walau tidak pandai menulis, tapi mereka suah sukses menarik minat saya untuk membaca isi blongnya.

Mungkin untuk sementara itu saja berbagai fakta dari perjalanan menulis saya selama beberapa tahun belakangan ini. Huff… akhirnya kelar juga!

Semoga cerita seputar menulis dan berblogging ria ini dapat bermanfaat dan bisa menjadi sedekah pena agar bisa menambah pahala juga buat saya. Semoga sukses!

Salam,

Joko Rinanto
READ MORE - Ingin Sukses Menulis? Ini Kuncinya!

Minggu, 12 Juni 2011

Bluke Kecil

Bluke Kecil

Cerpen
Budi Darma Silakan Simak!
Dimuat di
Jawa Pos Silakan Kunjungi Situsnya!11/08/2009 

ORANG tua Bluke Kecil tinggal di ruang bawah ta­nah se­buah gedung besar. Sewa ruang bawah tanah memang sa­ngat murah, dan orang tua Bluke tidak mungkin tinggal di ruang lain yang lebih mahal. Tentu saja, ruang bawah tanah tidak sehat. Kalau musim panas sinar matahari jarang men­jenguk ruang bawah tanah, dan kalau musim dingin, ruang bawah tanah bukan main dingin. Dan, barang siapa ting­gal di ruang bawah tanah pasti tidak mungkin menengok ke luar dengan bebas, sebab jendelanya sangat sempit, dan un­tuk menjenguk ke luar, mau tidak mau orang itu harus naik ke kursi atau meja. Detik demi detik, dengan sendirinya, ruang bawah tanah pasti mengundang berbagai ma­cam penyakit.

Ayah Bluke Kecil, Stavender namanya, adalah penjinak bi­natang buas Kebun Binatang Skebersky. Setiap hari, bahkan pada hari-hari libur resmi pun, Stavender berangkat ke kebun binatang menjelang jam enam pagi, dan menjelang jam tujuh malam baru sampai rumah kembali. Begitu tiba di rumah dia menyuruh Bluke Kecil mengambilkan bir, minum bir, batuk-batuk sebentar, kemudian tidur. Hanya kadang-kadang dia mengelus-elus kepala Bluke Kecil, dan hanya kadang-kadang dia berbicara kepada Bluke Kecil.

Ibu Bluke Kecil, Greta namanya, adalah sopir taksi. Le­bih kurang satu setengah jam setelah suaminya berangkat ke ke­bun binatang, Greta juga pergi. Berbeda dengan suaminya, dia tidak bisa menentukan jam berapa kira-kira dia akan pu­lang. Kalau penumpang banyak maka dia pulang malam, dan kalau kebetulan taksinya sedang tidak laku dia pulang le­bih awal. Kadang-kadang, pada saat dia pulang dia dapat bertemu dengan suaminya, dan kadang-kadang, dan ini le­bih sering, suaminya sudah tidur dengan dengkur yang me­mekakkan telinga baik istrinya maupun Bluke Kecil.

Sebagaimana suaminya, begitu sampai di rumah Greta pasti berteriak: ''Bluke Kecil, ibu kamu sudah datang! Am­bilkan bir! Apa kerjamu sepanjang hari, Bluke Kecil?''

Setiap hari ibu Bluke Kecil berteriak begitu, dengan nada yang benar-benar sama, tanpa ada perubahan sama sekali. Dan sambil berteriak minta bir, boleh dikatakan hampir se­lamanya ibu Bluke Kecil tidak pernah menengok ke arah Bluke Kecil. Mungkin, pada suatu saat kalau dia pulang dan Bluke Kecil sudah mati, dia tidak akan tahu bahwa Bluke Kecil, anak darah dagingnya sendiri, sudah tidak bernapas. Sebagaimana suaminya, kadang-kadang dia juga mengelus-elus kepala Bluke Kecil.

Setiap kali ayahnya mengelus-elus kepalanya Bluke Kecil se­lalu ketakutan, demikian pula setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya. Sambil mengelus-elus, ayahnya selalu bercerita mengenai binatang-binatang buas dan sekian ba­nyak korban yang sudah diganyang binatang buas, atau pa­ling tidak dilukai oleh binatang buas. Bluke Kecil me­rasa, ayahnya memang sengaja menakut-nakutinya. Dan setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya, ibunya selalu berce­rita mengenai sekian banyak laki-laki yang pernah dipukul dan ditendangnya, dan sekian banyak perempuan yang per­nah dia tempeleng, atau dia jambak rambutnya. Bluke Kecil merasa ibunya, sebagaimana pula ayahnya, sengaja mem­beri kesan bahwa dirinya hanyalah makhluk tidak berharga.

Tubuh ibu Bluke Kecil memang luar-biasa besar, namun luar biasa lincah. Bos taksi tempatnya bekerja menyukai dia karena dia jujur, berani, dan tidak pernah ragu-ragu me­nendang penumpang taksi yang kurang ajar, atau menggebuki teman-teman kerjanya yang bertingkah tidak senonoh. Setelah ibu Bluke Kecil bekerja sekian lama, se­betulnya bosnya ingin dia bekerja di kantor, dan bukan la­gi menjadi sopir, namun dia menolak. Dia bilang bekerja sebagai sopir lebih nyaman, karena dia bisa bergerak ke banyak tempat. Dan kalau ada penumpang minta diantarkan ke luar kota, katanya, rasanya lebih nikmat.

Tanpa disangka-sangka, sekonyong-konyong pada suatu hari ayah dan ibu Bluke Kecil bersikap sangat manis. Mereka mengajak Bluke Kecil berjalan-jalan ke kebun binatang, menonton film anak-anak, mengunjungi sekian banyak toko, kemudian masuk ke restoran. Dan akhirnya mereka menonton sirkus.

Setelah sampai di rumah ayahnya berkata, bahwa mulai bulan depan Bluke Kecil harus masuk sekolah. Ayah dan ibu Bluke Kecil telah memilihkan sekolah yang baik, mahal, dan bersih, meskipun jauh. Karena itu, kata ibunya, ayah dan ibunya akan mendidik dia agar dia siap memasuki dunia yang sesungguhnya.

Selama satu bulan penuh ayah dan ibu Bluke Kecil lebih banyak tinggal di rumah.

''Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, kadang-kadang kamu ke luar rumah pada waktu ayah dan ibu bekerja.''

Bluke Kecil diam.

''Kamu tahu, Bluke Kecil, ayah dan ibu berkali-kali me­nga­takan kamu tidak boleh ke luar rumah kalau ayah dan ibu sedang bekerja. Kamu melanggar. Dan ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.''

Bluke Kecil tetap diam, namun dalam hati berkata: ''Udara ruang bawah tanah tidak sehat. Kalau saya hanya menge­ram di sini terus, pasti saya sudah menjadi mayat.''

''Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, setiap kamu ke luar sen­dirian, pasti kamu menemui kesulitan. Kamu diejek, dihina, dimintai uang. Kadang-kadang kamu juga ditonjok perut kamu sampai beberapa kali kamu muntah. Dan mes­kipun kamu jarang kapok, kamu sebetulnya takut.''

Bluke Kecil tetap diam.

''Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, bahwa uang yang dirampas oleh orang-orang jalanan itu jauh lebih besar dari uang sa­ku kamu. Jangan kamu kira bahwa ayah dan ibu tidak tahu dari mana kamu memperoleh uang sebanyak itu. Ayah dan ibu tahu kamu mencuri, mencuri uang ayah dan ibu kamu sendiri, dari situ, laci meja itu, dari situ, almari itu, dan dari situ, kotak di pojok itu. Kamu memang cerdik. Uang yang ayah dan ibu sembunyikan di bawah kasur supa­ya tidak mudah kamu endus ternyata juga kamu curi. Dan ca­ra kamu mencuri juga cerdik. Kamu tidak pernah mencuri da­lam jumlah besar supaya tidak mencolok. Kamu selalu mencuri dalam jumlah kecil-kecilan tapi terus-menerus."

Ibu Bluke Kecil mengeluarkan catatan, lalu berkata: ''Inilah daftar uang yang kamu curi, Bluke Kecil. Ada tanggal­nya, ada harinya, ada jamnya, ada juga uang dari tempat ma­na yang kamu curi. Semuanya tercatat serbarinci, serbajeli, serbatepat. Kamu jangan menyangkal. Jangan. Namun ketahuilah, Bluke Kecil, ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.''

Lalu ayah dan ibu Bluke Kecil memberi tahu cara-cara un­tuk mempertahankan diri manakala dalam perjalanan pergi pulang ke sekolah nanti dia dihina, ditempeleng, dan di­mintai uang oleh berandal-berandal jalanan.

''Jangan takut kepada mereka, Bluke Kecil. Ayah dan ibu ka­mu berusaha keras untuk membuat kamu manusia bermar­tabat, jangan sampai terus-menerus dikalahkan, diinjak-in­jak, dan tidak ada habisnya dianggap sebagai sampah. Ka­mu harus melawan, Bluke Kecil, kalau kamu memang akan diinjak-injak. Namun kamu juga harus ingat, Bluke Ke­cil, kamu tidak boleh menyakiti siapa pun sebelum kamu di­sakiti terlebih dahulu. Lakukanlah tindakan-tindakan baik ke­pada semua orang. Namun kalau semua orang membalas pe­r­lakuan baik kamu dengan penghinaan, lawanlah mereka.''

Ayah dan ibu Bluke Kecil kemudian mencopot semua pa­kaian mereka. Dan baru kali itulah Bluke Kecil melihat ayah dan ibunya telanjang. Bagi Bluke Kecil, dalam keadaan te­lanjang ayah dan ibunya tidak tampak sebagai manusia, ta­pi sebagai sepasang binatang purba yang amat janggal dan juga amat lucu.

Bluke Kecil yakin, ayah dan ibunya pasti tidak tahu bah­wa sebagian uang curian yang dicatat oleh ayah dan ibunya de­ngan rapi itu sebetulnya dia pergunakan untuk menyewa komik di kios tidak jauh dari jembatan. Hampir setiap hari Bluke Kecil pergi ke kios itu, membaca beberapa komik, lalu membayar sewanya, lalu pergi ke beberapa tempat lain se­belum akhirnya pulang.

Dari komik-komik itulah Bluke Kecil belajar membaca sen­diri, dan akhirnya juga belajar menulis sendiri. Dan ini­lah yang tidak diketahui oleh ayah dan ibu Bluke Kecil. Dan inilah salah satu sebab yang mendorong keyakinan Bluke Kecil bahwa mencuri tidak selamanya jahat.

''Sekarang, Bluke Kecil, copotlah semua pakaian kamu.''

Bluke Kecil terpaksa ikut telanjang. Dalam hati Bluke Ke­cil ada perasaan ngeri. Seolah-olah dia ikut-ikutan tidak men­jadi manusia, namun menjadi binatang purba. Dan bukan hanya itu. Seolah-olah dia tidak mempunyai benteng per­tahanan apa pun. Segala sesuatu dalam perasaan dan pikirannya seolah-olah bisa dibaca bukan hanya oleh ayah dan ibunya, namun juga oleh semua seluruh dunia.

''Lihatlah ibu kamu, Bluke Kecil,'' kata ayah Bluke Kecil.

Dengan gerak tenang, gemulai, dan meyakinkan, tangan ibu Bluke Kecil menapak lantai, kemudian seluruh berat tu­buhnya disangga oleh kekuatan sepasang telapak tangannya. Lalu tubuhnya turun, ganti kepalanya yang menyangga berat tubuh, lalu dalam keadaan kakinya di atas dan ke­palanya di bawah, ibu Bluke Kecil bersedekap. Ibu Bluke Kecil bernapas dengan tenang, kemudian tidur dalam ke­adaan tetap berdiri di atas kepala. Selang lebih kurang se­puluh menit ibu Bluke Kecil melakukan gerakan-gerakan lain, dan ayah Bluke Kecil bertindak sebagai pelatih.

Melalui latihan keras dan melelahkan, dalam waktu sepuluh hari Bluke Kecil sudah sanggup menirukan gerakan-ge­rakan dasar ayah dan ibunya. Karena Bluke Kecil dapat be­lajar dengan cepat, ayah dan ibunya menyatakan perasaan bang­ga mempunyai anak Bluke Kecil.

Dalam latihan-latihan itu perlahan-lahan Bluke Kecil me­nyadari bahwa sebetulnya ayah, ibu, dan anak saling mencin­tai. Ada ikatan batin yang sangat kuat di antara mereka. Kendati sampai saat itu Bluke Kecil masih merasa ada tembok-tembok kuat yang memisahkan ayah, ibu, dan dirinya, Bluke Kecil merasa bahwa tembok-tembok kuat itu justru penting untuk mempersatukan kasih sayang mereka.

Selama beberapa kali diajak ke kebun binatang dan perusahaan tempat ibunya bekerja Bluke Kecil benar-benar merasakan bahwa ayah dan ibunya sangat dihormati di tempat kerjanya masing-masing. Bukan hanya pegawai biasa yang menghormati ayah dan ibunya, namun juga atasan-atasan mereka. Rasa hormat itu sama sekali tidak dibuat-buat, namun benar-benar tulus.

Diam-diam Bluke Kecil merasa ayah dan ibunya menuntut agar dia nanti di sekolah juga dihormati, bukan hanya oleh teman-temannya, tapi juga oleh guru-gurunya. Ayah dan ibunya tidak menghendaki Bluke Kecil gagal. Kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil lagi, ayah dan ibunya ingin agar dia menjadi manusia yang mempunyai harkat, derajat, dan martabat tinggi.

Bahwa ayah dan ibunya merasa gagal Bluke Kecil tahu de­ngan pasti setelah pada suatu malam ayah dan ibunya membuka beberapa peta dunia di meja makan. Bluke Kecil tahu betul bahwa ayah dan ibunya telah menyimpan peta-peta itu di tempat tersembunyi, mungkin dengan harapan Bluke Kecil tidak akan menemukannya dan membuka-bukanya. Namun, sebetulnya, sudah lama diam-diam Bluke Kecil membuka-buka peta-peta itu dan merenungkan apa gerangan makna masing-masing tanda pada peta-peta itu.

Bukan hanya itu. Bluke Kecil sudah lama menyembunyikan radio kecil dengan gelombang panjang dan gelombang pendek, radio yang ditemukannya secara tidak sengaja di tong sampah kira-kira satu kilo dari tempat tinggalnya. Pada waktu Bluke Kecil menemukannya, radio kecil itu dalam keadaan rusak. Dengan tekun Bluke Kecil mengotak-atik radio itu, sampai akhirnya radio itu bisa mengeluarkan suara-suara gembret. Setelah mencuri uang ibunya Bluke Kecil lari ke kedai kelontong, membeli dua baterai kecil, dan keluarlah suara-suara nyaring dari radio kecil itu.

Mulai dari saat itulah Bluke Kecil mempunyai kegemaran yang amat menyenangkan, yaitu mendengarkan siaran-siaran dari luar negeri melalui gelombang pendek. Maka, ke­tika ayah dan ibunya membuka peta-peta dunia di meja makan tahulah Bluke Kecil makna tanda-tanda pada peta-pe­ta itu. Bluke Kecil tahu bahwa dunia dibagi dalam lima be­nua, tahu di mana letak negara-negara besar, dan tahu di mana letak negara di mana dia tinggal dan di kota mana dia ting­gal. Mencuri uang orang tuanya, dengan demikian, bagi Bluke Kecil bukanlah dosa, karena uang itu untuk belajar membaca dan menulis, dan juga untuk membeli ba­terai, dan dengan baterai itu Bluke Kecil bisa membayangkan bagaimana dunia ini sebenarnya. Bukan hanya itu. Bluke Kecil juga bisa mendengar beberapa bahasa dari negara-negara lain di lima benua, dan Bluke Kecil juga bi­sa menirukan berbagai bahasa itu.

Bluke Kecil tahu, ayah dan ibunya mempunyai keinginan be­sar untuk menjadi pengelana dunia bukan dengan jalan menjadi pegawai perusahaan penerbangan atau pelayaran, dan karena itu bisa ikut terbang dan berlayar, namun sebagai orang-orang terhormat dan terkemuka. Sekali lagi, Bluke Ke­cil tahu. Dan kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil la­gi, tahu bahwa seseorang yang terhormat dan terkemuka pasti diundang ke mana-mana bukan sebagai pegawai, na­mun sebagai pribadi yang kuat. Karena itu, ayah dan ibu Bluke Kecil juga tidak mau menjadi pengelana dunia sebagai pemain sirkus.

Kalau mau, pasti ayah dan ibu Bluke Kecil bisa menjadi pe­main sirkus yang bukan sembarangan. Ingatlah, ayah Bluke Kecil adalah penjinak binatang buas yang amat dihor­mati, dan sebagaimana ibu Bluke Kecil, tubuh ayah Bluke Kecil juga lentur. Dan Bluke Kecil juga tahu, ayah dan ibu­nya bukanlah orang-orang bodoh.

Dalam keadaan pura-pura sudah tidur Bluke Kecil pernah me­nyaksikan sendiri, ayah dan ibunya dalam keadaan sama-sama telanjang memelajari titik-titik kuat dan titik-titik le­mah tubuh manusia. Ketika kepala ayah Bluke Kecil dihan­tam sebilah kayu panjang oleh ibu Bluke Kecil, ayahnya tidak merasa apa-apa. Namun begitu tangan ibu Bluke Ke­cil menyentuh satu titik tepat di atas pusar, ayah Bluke Kecil menjerit-jerit sambil berjingkrak-jingkrak kesakitan. Lalu, dalam keadaan pura-pura sudah tidur pula, Bluke Kecil pernah menyaksikan ayah dan ibunya, dalam keadaan telan­jang pula, menari-nari dengan sangat indah. Dan Bluke Kecil tahu, barang siapa ingin menjadi pemain sirkus harus pandai menari.

Demikianlah, Bluke Kecil dalam keadaan pura-pura sudah tidur sering menyaksikan ayah dan ibunya dalam keadaan te­lanjang melakukan gerak-gerik yang benar-benar ajaib, kadang-kadang tidak masuk akal, dan kadang-kadang mengerikan juga. Pernah, misalnya, dengan mempergunakan pedang sewaan, ayah dan ibu Bluke belajar bertempur, saling menyerang, dan saling ingin merobohkan.

Bluke Kecil betul-betul tahu bahwa ayah dan ibunya tahu bahwa Bluke Kecil pura-pura sudah tidur namun sebetulnya ma­sih terjaga. Karena itulah, pada suatu malam, sehabis saling menyerang dengan pedang sewaan, ayah Bluke Ke­cil berkata kepada ibu Bluke Kecil: ''Itu, lho, anak kamu pu­ra-pura tidur.''

Ibu Bluke Kecil menjawab: ''Tinggalkan tempat tidur, Bluke Kecil, lalu, cepat-cepatlah lepas seluruh pakaian kamu.''

Dan setelah Bluke Kecil bangkit dari tempat tidur, ibunya lang­sung menyodorkan sebilah pedang: ''Seranglah saya, Bluke Kecil.''

Bluke Kecil pun bangkit, lalu menyerang ibunya dengan be­berapa ayunan pedang, tapi selalu luput.

''Sekarang seranglah ayah kamu, Bluke Kecil.''

Dan Bluke Kecil pun menyerang ayahnya dengan berbagai ayunan pedang. Tahulah Bluke Kecil, cara ibunya dan ayah­nya menghindar dari serangan ayunan-ayunan pedang bukanlah dengan gerak biasa, namun gerak tari yang amat indah.

Waktu satu bulan sudah habis, dan tibalah saatnya bagi Bluke Kecil untuk sekolah.

''Kamu Bluke Kecil, bukan?'' tanya guru ketika kelas per­tama pada hari pertama baru saja dimulai. ''Ayah dan ibu kamu sudah beberapa kali datang ke sini. Mereka minta izin untuk menyuruh kamu sekolah tiga tahun terlambat. Boleh-boleh saja. Undang-undang negara kita tidak memba­tasi umur mulai sekolah, asal semua anak akhirnya lulus SD, SMP, dan SMA.''

Bluke Kecil mengangguk-angguk.

''Apa kerja kamu selama tiga tahun, Bluke Kecil? Menja­di pengantar koran? Atau pengantar susu? Undang-undang ne­gara kita tidak melarang anak-anak bekerja, jadi kamu ker­ja ini atau kerja itu juga tidak apa-apa."

Bluke Kecil diam, sementara anak-anak lain heran, menga­pa ada anak setua itu baru mulai sekolah, dan mengapa pula ada anak sebesar itu dipanggil ''Bluke Kecil'', bukan ''Bluke Besar'', ''Bluke Tua'' atau semacam itu. Anak-anak lain keder, karena mereka tahu, anak sebesar ini atau setua ini pasti jauh lebih pandai daripada mereka.

Memang, ternyata benar, Bluke Kecil amat pandai. Bluke Kecil tahu banyak mengenai makna angka dan huruf, ilmu bu­mi, kata-kata asing, dan sekian banyak hal yang pernah di­bacanya dari komik dan didengarnya dari siaran-siaran radio luar negeri, dan juga dari bisik-bisik ayah dan ibunya ketika mereka memperbincangkan dengan nada malu-malu mengenai negeri-negeri jauh. Maka, pada saat guru menga­jar Bluke Kecil sering ngalamun.

Bluke Kecil sadar bahwa dirinya asing dengan siapa pun. Ayah dan ibunya tetap berlagak sama seperti dulu, yaitu, ''Bluke Kecil, ambilkan bir'', ''Bluke Kecil, bikinkan kopi'', ''Bluke Kecil, untuk apa kamu mencuri uang lagi?'' dan di sekolah dirinya juga asing dengan teman-temannya, asing pula dengan guru-gurunya. Anak-anak di sekitar tempat tinggalnya, seperti yang pernah dikatakan ibunya, mendekati dirinya hanya untuk minta uang, dan kalau tidak diberi uang mereka menempelengi dia. Bedanya, dulu Bluke Ke­cil ditempelengi dan lari atau menyerah dan memberi uang, dan sekarang Bluke Kecil melawan dan ditakuti. Pelajaran-pe­lajaran dari ayah dan ibunya telah membentuk Bluke Ke­cil sebagai anak pemberani, akan diam kalau tidak diapa-apa­kan, dan akan menghajar tanpa ampun apabila disakiti.

Semua guru juga sadar, Bluke Kecil asing dengan diri me­reka. Guru-guru tidak tahu bagaimana caranya mengha­dapi Bluke Kecil, karena tingkah Bluke Kecil sering menim­bulkan tanda tanya. Sering, misalnya, Bluke Kecil tertidur pu­las pada waktu guru sedang mengajar, dan karena ayah Bluke Kecil selalu mendengkur keras pada waktu tidur, Bluke Kecil pun sering mendengkur keras pada waktu gu­ru mengajar.

Namun, kendati Bluke Kecil sering tertidur dengan dengkur yang amat meresahkan, ternyata Bluke Kecil sanggup me­nyimak kata demi kata semua gurunya. Pada suatu hari, mi­salnya, guru ilmu bumi dengan penuh wibawa mengatakan, ibu kota Nepal adalah Sikkim. Langsung, dalam ke­adaan matanya masih menutup berat, Bluke Kecil menga­cung­kan tangan, sambil berkata: ''Kalau petanya kecil, me­mang tampaknya Sikkim menempel di Nepal. Karena itu, biasalah manakala orang-orang menganggap Sikkim ibu kota Nepal. Namun, Sikkim itu negara tetangga Nepal. Ibu kota Nepal tentu saja Katmandu, dan semua orang seha­rusnya sudah tahu. Hah, hah, hah ..."

Akhirnya, semua guru berusaha untuk senang kepada Bluke Kecil, tapi semua guru tetap tidak senang kepada Bluke Kecil. Dan semua guru juga sadar, mereka hanyalah makhluk-makhluk bodoh, tidak tahu bagaimana harus mengajar karena otak mereka kosong, dan tidak tahu bagai­mana berkata-kata dengan meyakinkan di hadapan semua mu­rid, karena Bluke Kecil pasti tahu, apa yang mereka ka­takan mungkin keliru.

Akhirnya Bluke Kecil juga sadar, ayahnya menjadi penji­nak binatang buas bukan sekadar mengikuti darah nenek-mo­yangnya yang memang sejak dahulu menjadi penjinak bi­natang buas, namun karena, dan inilah yang penting, ayahnya melarikan diri dari kegagalan. Bluke Kecil dapat me­nebak, ketika me­ngelus-elus zripanzea ayahnya merasa se­dang berada di Ar­gentina karena asal-usul binatang buas zripanzea adalah Ar­gentina, pada waktu menimang-nimang bayi lodvivalia ma­malia layaknya ayahnya sedang berada di Uganda, dan pa­da waktu memandikan norgazus psinomalia ayahnya me­rasa seakan-akan berada di Babilon zaman da­hulu kala, karena dari situlah asal-usul binatang buas yang se­dang dia mandikan.

Bluke Kecil juga menduga, ibunya menjadi sopir taksi, pa­dahal kalau mau pasti mendapat pekerjaan lain dengan ga­ji lebih baik, karena ibunya, seperti juga ayahnya, adalah makhluk yang gagal. Dengan mengendarai mobil ke mana-mana, meskipun jarang ke luar kota, ibunya membayangkan sedang bepergian ke ujung-ujung lain dunia. Ibunya juga sering mengajak penumpang-penumpangnya untuk berputar-putar menempuh jarak yang lebih jauh sambil mengobrol macam-macam tanpa meminta bayaran tambahan, tidak lain karena, inilah dugaan Bluke Kecil, ibunya membayangkan sedang berkeliling dunia dan mengobrol dengan orang-orang dari negeri antah-berantah yang amat jauh.

Dugaan Bluke Kecil mungkin benar: ibunya sering mendapat tip berupa uang asing, kaos oblong dengan gambar dan kata-kata negeri asing, rokok merek luar negeri, gantungan ku­n­ci dari berbagai negara, dan entah apa lagi. Semua barang asing itu sering ditimang-timang ibunya, dan mungkin karena itu pulalah, ibunya tidak pernah memperhatikan Bluke Kecil dengan sungguh-sungguh.

Tanpa diduga-duga, pada suatu hari setelah sekolah usai, seorang guru baru pindahan dari kota lain menahan Bluke Kecil.

''He, Bluke Kecil, boleh kan sekali tempo saya main-main ke rumah kamu?''

Mata Bluke Kecil mendelong.

''Begini, Bluke Kecil. Kamu sekolah terlambat tiga tahun. Lalu kamu sering ngalamun. Sering pula tidur. Ternyata ka­mu pandai. Inilah ciri-ciri anak melarat. Bukan anak me­larat biasa, tapi anak melarat yang sudah tidak mempunyai ayah. Ibu kamu pasti perempuan hebat."

Tanpa tahu sebabnya, Bluke Kecil menurut ketika Bapak Guru mengajak ke rumah makan.

''Jangan khawatir pulang terlambat, Bluke Kecil. Nanti ka­mu saya antar pulang. Saya ingin ketemu ibu kamu."

''Maaf, Bapak Guru, ayah saya masih ada.''

''Kalau begitu, ibu kamu sudah tidak ada.''

''Maaf, Bapak Guru, ibu saya masih ada.''

''Ah, mosok begitu? Kamu pasti punya ibu tapi ayah kamu su­dah tidak ada."

Bluke Kecil diam sebentar, kemudian, dengan malu-malu mengeluarkan sebuah potret dari tasnya. Potret itu diambil ketika ayah dan ibunya bersikap ramah, mengajak Bluke Ke­cil berjalan-jalan, masuk toko, mengunjungi rumah ma­kan, lalu menonton sirkus. Bluke Kecil sadar, dengan menyimpan potret itu, sebenarnya dia sangat mencintai ayah dan ibunya.

''Maaf, Bluke Kecil, saya kira kamu sudah tidak punya ayah. Begini, Bluke Kecil, saya sudah tidak punya istri. Tu­han Mahabesar. Arwah istri saya, dengan perkenan Tuhan Mahabesar, sekarang sudah berada di surga. Tadi malam saya didatangi arwah istri saya bukan dalam mimpi, namun ke­tika saya sedang makan. Istri saya minta maaf tidak bisa menemani. Sebelum pergi, istri saya, maksud saya arwah istri saya, minta saya mencari istri baru.''

''Maksud Bapak Guru, Bapak Guru mau mengambil ibu sa­ya menjadi istri Bapak Guru?''

''Ah, itu tidak penting, Bluke Kecil. Yang penting ternyata kamu masih mempunyai ayah.''

Setelah berhenti sebentar, Bapak Guru berkata: ''Begini, Bluke Kecil, katakan kepada ibu kamu, kalau ayah kamu su­dah tidak ada, Bapak Guru mau. Bapak Guru setia menunggu."

''Kalau ayah saya tetap ada, Bapak Guru?"

''Makanya katakan, Bapak Guru mau, Bapak Guru setia me­nunggu.''

Setelah diam sebentar, Bapak Guru menyambung: ''Apa pekerjaan ayah kamu, Bluke Kecil?''

''Penjinak binatang buas.''

''Itu mungkin agak penting, Bluke Kecil. Sejarah me­nunjuk­kan, hampir semua penjinak binatang buas akhirnya di­terkam binatang buas."

''Andaikata ayah saya pilot, Bapak Guru?''

''Pesawat terbang kan bisa jatuh.''

''Andaikata ayah saya kapten kapal, Bapak Guru?"

''Kapal pun pada suatu saat bisa tenggelam.''

''Andaikata ayah saya pegawai kantor pos, Bapak Guru?''

''Pegawai kantor pos kan bisa saja ketabrak mobil.''

''Mengapa Bapak Guru kurang ajar?''

''Hus! Jangan begitu, Bluke Kecil. Kamu kan mengandai-an­dai. Makanya saya juga mengandai-andai."

''Tapi ayah saya benar-benar penjinak binatang buas, Ba­pak Guru.''

''Itu kenyataan, Bluke Kecil. Namun kenyataan pun tidak le­pas dari pengandaian. Ingatlah pepatah ''senjata makan tuan''. Itu pengandaian, bukan?''

Bluke Kecil dan Bapak Guru saling berpandangan.

''Begini saja, Bluke Kecil. Kamu akan saya ajak nonton teater. Bukan hanya sekali tempo, namun sering. Dengan non­ton teater kita dapat melihat cerita-cerita bagus. Kita melihat Van Couver, Shanghai, Sidney, Surabaya, Kopenha­gen, Berlin. Semua ada di teater.''

Bluke Kecil berpikir: ''Ini dia, manusia gagal!''

''Bagaimana, Bluke Kecil? Bilang pada ibu kamu, ya, Bapak Guru mau. Bapak Guru setia menunggu."

Bluke kecil dan Bapak Guru saling berpandangan. ***
READ MORE - Bluke Kecil

Sabtu, 21 Mei 2011

Payung Kecil

Saudaraku….

jika sekarang damai dan kenyamanan serta kebahagiaan sedang menyelimutimu, tolong jaga dan hargai dia, jangan disia-siakan, karena kau tau saudaraku di dunia ini masih banyak yang sangat membutuhkan. dan mereka itu adalah saudara-saudaramu sendiri.


jika Tuhan hanya memberimu sebuah payung kecil ditangan untuk berteduh, sehingga kau bisa melihat hujan yang turun deras sekali, dan kau bisa melihat tirai hujan dalam berdirimu. bersyukurlah saudaraku, karena kau masih diberi Nya kesempatan untuk berteduh dan tidak basah. tapi jangan itu akhirnya membuatmu takabur atau mungkin mengeluh sambil berharap sebuah payung lebih besar akan kau dapatkan, karena jika kau melihat lebih jauh kebalik tirai hujan, masih banyak orang yang terpaksa kebasahan dan memeluk tubuhnya sambil menggigil kedinginan, dan menunggu hujan sampai kapan redanya mereka tidak tahu.

sebenarnya masih banyak yang ingin kuceritakan padamu saudaraku, tapi seperti yang kau tahu kadang kata-kata tak cukup untuk mengatakan semua hal yang ada di fikiranku.

semoga kita senantiasa bisa berbagi, dan semoga esok lebih baik dari hari ini…

Salam Kenthir Saudaraku….
READ MORE - Payung Kecil

Kau -Kita- Tak Sendiri

Perempuan bermata bulat menatap langit-langit dalam temaram. Kalimat-kalimat telah kaku, tertahan oleh papilla. Bulir pengharapan tetas dalam jiwa, menunggu masa yang telah terjanji. Kelak akan tiba saatnya, semua akan usai. Hanya butuh sedikit waktu untuk bersabar. Memintal benang ketegaran. Mengaklimatisasi diri dengan segala rasa sentimentil tak berjeda. Lalu, kerikil-kerikil yang menusuk tapak kaki akan menjelma selembut pasir pantai.

Telah dijanjikan olehNya, pundakmu akan mampu menopang segala lara. Pun, jika ia terlalu berat maka letakkanlah telapakmu pada lapangnya pundak-pundak lain yang sedia berbagi. Sekedar menghapus keruhnya wajah, membasuhnya dengan keikhlasan. Kemudian, kembali menatap hangat surya yang kan menuntun langkah-langkah kecilmu menuju perigi berair tenang, tempat bahagia bermuara.

Aku hanya semilir nakal yang senang memainkan ikal anak-anak rambutmu, menyelinap diantara lipatan-lipatan kulitmu, kemudian menggelitik daun telingamu dengan lirih bisik: teruslah melangkah, ada dia di ujung sana menanti tibamu.
READ MORE - Kau -Kita- Tak Sendiri

Kamis, 19 Mei 2011

Wartawan 'L', sang Pembisik Gubernur

'Basis pemerintah kita terletak pada opini masyarakat, kewajiban yang paling utama adalah tetap mempertahankan hak rakyat ini, dan andaikata saya disuruh memilih pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, saya akan memilih yang terakhir’. (Thomas Jefferson).

***

Ada pernyataan mengejutkan sekaligus menggelikan dari Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf saat menerima audensi pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Februari lalu. Sebuah komentar disampaikan gubernur bahwa 95 persen wartawan tidak menyukainya. Info itu katanya, dibisikkan oleh seorang wartawan senior di Aceh.

Komentar itu kemudian disambut media dan ramai-ramai memberitakannya. Sebuah lakon yang wajar, sebab pernyataan gubernur mengena dan menghantam langsung ke para wartawan. Perenungan dimulai. Benarkah yang disampaikan Irwandi?

Hemat saya, suka atau tidak suka Irwandi adalah penilaian. Sementara suka atau tidak suka wartawan adalah pilihan yang kabur. Gubernur mungkin saja menilai bahwa banyak wartawan yang menuliskan kritik terhadap pemerintahan yang dipimpinnya, poin itu kemudian menjadi tidak suka. Padahal dulu, sebelum menjadi pejabat, Irwandi menilai wartawan begitu dekat.

Soal kedekatan ini juga punya pengaruh dalam penilaian. Gubernur adalah pemimpin 4 juta lebih masyarakat Aceh yang bukan hanya mengurus wartawan. Sulit ditemui dengan prosedur yang berlapis kadang membuat kuli berita enggan berkomunikasi dengan Irwandi, kecuali terpaksa untuk kepentingan pemberitaan. Ini kemudian membuat sebuah objek untuk penilaian, bahwa wartawan semakin jauh dengannya. Masih objektif.

Lalu masih ada koreksi dalam ucapan Irwandi. Bahwa dia mendengar dari seorang wartawan senior yang kemudian berembus kabar bernama inisial ‘L’. Kalaulah wartawan itu ada, bisa saja itu adalah semacam simpati yang disebarkan untuk menarik perhatian gubernur. Untuk mendekatkan pribadi ‘L’ dengan pemimpin dengan beragam tujuan, mendapatkan keuntungan finansial misalnya atau sedikitnya untuk kemudahan berkomunikasi bila ada kepentingan pemberitaan.

Kalaulah bisikan ‘L’ itu ada, saya yakin Irwandi tak mudah percaya.

Tapi, kalau bisikan itu tidak ada, berarti Irwandi sedang memainkan peran komunikasi media untuk menarik perhatian wartawan. Dia bukan orang awam yang tak paham berkomunikasi dengan media. Ilmu itu sudah dipraktekan nya sejak lama, jauh sebelum berkuasa.

Ketika ‘L’ disebut-disebut menjadi inisial wartawan pembisik, hampir semua wartawan bahkan para aktivis dan pejabat mencoba membuka tabir, siapa ‘L’ sebenarnya. Lidik dimulai, dan tak ada satupun wartawan di Aceh yang bernama awal huruf ‘L’.

Saya pun mulai menelusuri satu persatu nama wartawan senior. Saya mulai dari tokoh pers Aceh, namanya Samsul Kahar. Memang ada satu huruf 'L' yang melekat di sana, tapi bukan di depan, melainkan di ujung nama pertama. Iseng saya coba membaca terbalik dari belakang, jadinya Lusmas. Ini pun kedengaran aneh karena Pak Samsul tak pernah membalik namanya seperti yang pernah dilakukan seorang wartawan bos grup Riau Pos di Pekanbaru bernama Rida K. Liamsi. Padahal, coba baca dari belakang, itulah nama sebenarnya: Ismail Kadir. Yang terakhir ini terdengar keren meski dibalik.

Barangkali, inilah sebabnya, huruf 'L' menjadi bahan candaan. Dalam obrol di warung-warung banyak nama wartawan senior yang dibubuhkan dengan ‘L’ di depan. Jadilah, nama Ketua AJI Banda Aceh Mukhtaruddin Yacob dipleset menjadi Lukhtaruddin Lakob, atau Ketua PWI Aceh Tarmilin Usman menjadi Larmilin Lusman, Nurdin Hasan menjadi Lurdin Lasan. Ada juga yang lebih menggelikan, Ali Raban Metro TV tiba-tiba menyandang nama baru: Lali Laban. Anda tau kan kalo dalam bahasa Jawa 'lali' berarti pelupa?

***

Irwandi telah mampu menarik wartawan dengan isu yang dihembuskan. Sebuah komunikasi media mungkin saja sedang dibangun, mengingat Pemilukada di depan mata. Apapun, wartawan adalah mereka yang menuliskan dan membangun opini para pejabat untuk meraih simpati rakyat.

Membangun komunikasi media, saya teringat kisah Thomas Jeferson saat masih duduk di Dewan Kongres Amerika Serikat tahun 1787. Dia mengeluarkan sebuah pernyataan yang terkenal dan banyak dikutip media hingga sekarang. Bunyinya; ‘Basis pemerintah kita terletak pada opini masyarakat, kewajiban yang paling utama adalah tetap mempertahankan hak rakyat ini, dan andaikata saya disuruh memilih pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, saya akan memilih yang terakhir’.

Dia terkenal sebagai pembela kebebasan pers, beropini, berpendapat kala itu. Pandangannya terhadap media, menggambarkan bahwa hak rakyat berpendapat adalah segala-galanya, dan ini terpatri melalui kebebasan pers. Tapi kemudian, kekuasaan merubah persepsi Jeferson terhadap pers, saat pemilu AS pada 1800 mendudukkannya sebagai presiden.

Dia kemudian menjadi Presiden ketiga AS yang dikenal juga sebagai salah seorang penyusun The Declaration of Independence. Sikapnya terhadap pers berubah. Partainya memang mampu mengontrol pemerintahan, namun dalam perhitungan Jeferson, tiga per lima para editor masih mendukung lawan-lawan politiknya. Yang terjadi berikutnya adalah adanya klaim dari para pengikut Jeferson yang memulai pembatasan-pembatasan politik dengan menamakan sebagian wartawan dengan oposisi.

Itu sebuah fenomena yang terjadi jauh di AS dan sudah dua abad lalu. Tapi seperti itulah representasi hubungan antara penguasa dan pers yang hampir selalu punya batasan-batasan yang mirip permusuhan. Di banyak negara dan daerah, termasuk Indonesia dan Aceh khususnya, banyak mereka yang sebelumnya mesra dengan media dan pers, tetapi kemudian langsung berseberangan ketika menjadi penguasa.

Di Indonesia hal itu tercatat panjang. Dari masa Soekarno yang mencoba mengendalikan pers, kemudian Soeharto yang sempat membredel beberapa media karena dianggap tak berpihak pada politik berkuasa. Padahal sebelum jadi presiden, Soeharto sangat dekat dengan pers. Abdurrahman Wahid juga begitu, pun Megawati. tapi kemudian ketika menjadi presiden dia suka mengatakan media memelintir perkataannya.

Lebih gamblang lagi terlihat saat Megawati berkuasa. Pers nasional dan media umumnya memilih resiko mendukung Mega melalui berita mereka, karena dianggap PDI-nya mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru. Namun setelah menjadi presiden, Mega sempat mengkritik pers; ‘Pemberitaan pers tidak berimbang, berputar-putar dan menambah ruwet masalah’.

Secara umum sampai kapanpun, ketidak-harmonisan pers dengan pemegang kekuasaan akan terus terjadi. Begitulah relnya. Karena yang dilakukan media adalah kontrol yang disampaikan masyarakat terhadap pemimpinnya. Kalau tak ingin dikritik tak usah menjadi politisi. Tapi tak dipungkiri, ada juga hubungan yang harmonis, bila keputusan yang diambil kekuasaan berpihak rakyat.

Ada sebuah sisi lain yang perlu dilihat, bahwa media adalah sebagai alat untuk berkomunikasi politik para politisi. Kerap para politisi memakai ruang media massa untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya kepada rakyat, begitu sebaliknya. Media menyediakan ruang, karena disitulah tugasnya.

Sebagai media komunikasi, keberadan pers merupakan hak azasi bagi individu atau insan pers untuk mengemukakan pikiran dan pendapatnya. Sebagai media publikasi, pers mengemban kewajiban azasi untuk menyampaikan kepada masyarakat yang membutuhkan fakta yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia.

Pada dasarnya media mempunyai implikasi yang luas dalam mempengaruhi perilaku politik. Pada satu sisi media dapat menjadi perpanjangan tangan penguasa ketika regulasi tentang pemberitaan berada dalam cengkeraman negara yang bersikap sebagai polisi. Di sisi lain, media dituntut untuk menjadi sumber informasi, pendidikan dan sosialisasi politik bagi masyarakat.

Dalam konteks politik, zaman ini persaingan kekuasaan antar politisi kadang menguntungkan media dan masyarakat tapi juga kerap merugikannya pada sisi lain. Tak dipungkiri banyak politisi yang dibesarkan media. Media massa juga punya kepentingan untuk mendukung siapa saja. Walaupun itu kerap dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

Politisasi informasi akibat pengaruh kekuasaan dan bisnis media menyebabkan media kerap tak mampu menjalankan misinya sebagai pengawas. Kendati ada juga idealisme yang dimiliki media dalam menyampaikan informasi kepada rakyat.

Dalam berbagai perhelatan demokrasi meraih kekuasaan, kampanye kerap dilakukan dengan memakai media. Misalnya membeli tempat untuk iklan, menggelar acara hingga muncul berita, artikel, mengirimkan press release dan sebagainya. Sebut saja Aceh saat Pilkada dan pemilu legislatif di Aceh beberapa waktu lalu.

Media kadang menjadi kawan baik bagi politisi atau pejabat sebelum berkuasa. Dan bisa dianggap menjadi lawan saat kuasa dipegang. Karena apa yang dituliskan adalah suara rakyat yang didapat dari hasil liputan.

Kalaulah berita adalah suara rakyat dan kalau benar ada 95 persen wartawan tak suka gubernur, berarti secara teori ada 95 persen masyarakat yang tak menyukai Irwandi.

Iseng saya coba membalikkan kata. ‘Ada 95 persen pejabat tak suka wartawan’. Benarkah atau mungkin salah. Kalau ini tak benar, maka berarti salah. Dan, apa yang disampaikan ‘L’ adalah fitnah. Kalau ‘L’ tak ada, berarti gubernur sedang memainkan komunikasi di media untuk mendukung politiknya.

Inisial 'L' ini betul-betul menggoda. Hingga saya mengeja satu per satu huruf di nama saya. Upps, untunglah orang tua luput menabalkan huruf itu di nama saya. Kalau tidak, mungkin saya pun akan akan melegenda sebagai wartawan 'L', sang pembisik gubenur.

Penulis adalah editor The Atjeh Post
READ MORE - Wartawan 'L', sang Pembisik Gubernur

Sabtu, 14 Mei 2011

Belati Dan Hati


Aku mendatangimu dengan dua malaikat di kedua sisiku. Malaikat di sebelah kananku, semenjak hari kelahiranku, hanya mengharapkan aku melakukan kebaikan, lalu menuliskan semua kebaikan itu di dalam jutaan lembar kulit kambing berbungkus kain sutra putih yang selalu didekapnya, dan kulit-kulit itulah yang nanti akan ia bangga-banggakan kepada penciptanya.

Malaikat di sebelah kiriku, hingga hari kematianku, tidak pernah mengharapkan aku melakukan kejahatan, meski yang ia lakukan hanya menuliskan kejahatan-kejahatan yang kulakukan di dalam jutaan lembar kulit kambing berbungkus kain lusuh hitam yang selalu didekapnya, dan kulit-kulit itulah nanti yang akan ia perlihatkan kepada penciptanya.

Bajuku tebal berwarna lumut namun terlalu banyak lumut yang menutupinya, panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku. Rambutku panjang melebihi punggung dan tidak pernah kucuci dengan batang-batang padi kering maka sering membuat kepalaku gatal-gatal dan berkutu dan sudah puluhan tahun kusengajakan berpilin-pilin, meski aku membenci Daun Kenikmatan karena akan membuatku bodoh dan bicaraku bagai orang dungu. Kuku di tangan kiri dan kananku panjang-panjang sehingga mirip setan bermata besar, bergigi taring, berambut putih panjang sekaki, bongkok dan berpunuk yang muncul dari balik asap ledakan, kata orang ledakan sekantung kecil pasir warna abu-abu, padahal tidak mungkin sekantung kecil pasir warna abu-abu meledak sedahsyat itu.

Tidak ada alas kaki, tidak ada mahkota berlian, tidak ada kereta kuda.

2

Kedua telapak tanganku terbuka, menampung hatiku yang merah di tangan kanan namun tidak berlumur darah karena telah kubersihkan karena kutahu akan kuperlihatkan kepadamu, lalu belati mengkilat di tangan kiri, yang belum lama kupakai untuk merobek dadaku dan sudah kubersihkan karena kutahu akan kuperlihatkan kepadamu.

Inilah kabar yang seharusnya dilihat dan didengar semua orang. Sebuah berita, bukan cerita, karena ada beda yang nyata antara aksara kedua dengan aksara ketiga, meski hanya satu, karena sebuah berita seharusnya berguna, begitu pula cerita. Bukan tentang jubah yang dikenakan si Anak Pertama. Bukan tentang makanan yang masuk ke perut si Anak Kedua. Bukan tentang permata yang mengelilingi lengan si Anak Ketiga. Sampah. Bukan tentang si Mata Besar yang menawarkan cincin kepada si Mata Kecil. Bukan tentang si Kuping Besar yang memberi cincin kepada si Kuping Kecil. Bukan tentang si Hidung Besar yang mengambil cincin dari jari si Hidung Kecil. Sampah. Sampah. Bukan tentang si Gemuk yang tubuhnya kurus tiba-tiba. Bukan tentang si Kurus yang tubuhnya menggelembung tiba-tiba. Bukan tentang si Hidup yang mati tiba-tiba. Sampah. Sampah. Sampah.

Sering kepalaku berputar-putar dan mataku menjadi gelap gulita bila memikirkan anak-anak perempuan setiap hari, dari pagi hingga malam, hingga kembali pagi, melahap sampah-sampah di dalam rumah-rumah mereka, sampah beku dan sampah bergerak, begitu pula perempuan-perempuan berketurunan puluhan yang hanya bergerak dari kasur ke sumur ke dapur, dari sumur ke dapur ke kasur, dari dapur ke kasur ke sumur, dari sumur ke kasur ke dapur.

3

Sang Kejahatan dan Sang Kebaikan sering bertengkar di dalam kepalaku. Suaranya membuatku gundah dan berputar-putar tiga belas putaran. Mereka bersuara sama memekakkan, bahkan selalu memukul-mukul tempurung kepalaku dengan tombak besi merah dan tongkat kayu putih di tangan kanan mereka hingga membuat kepalaku semakin berputar-putar dua puluh enam putaran.

Bila Sang Kejahatan memenangkan pertengkaran karena suaranya lebih memekakkan, maka ia akan bersorak- sorai sambil menghentak-hentakkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku.

Bila Sang Kejahatan kalah dalam pertengkaran karena suaranya kurang memekakkan, maka ia akan menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan bersorak-sorai sambil menghentak-hentakkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku.

Maka aku sering diam, dan berpikir lebih baik tidak berkeinginan mempunyai keinginan.

4

Hati dan belati bukan pilihan yang harus kau pilih. Engkau bukan sedang ikut berjudi dalam lingkaran empat-lima orang, atau permainan mengadu nasib yang dilihat 155 juta orang semalam suntuk di seluruh negeri.

Hati dan belati, hari ini, bukan perumpamaan yang diucapkan para lelaki yang sepanjang hari menyembunyikan taring dan tanduknya dengan wajah laksana Sang Kebaikan dan mengenakan mahkota berlian di atas kereta kuda mewah berpahat lambang-lambang kerajaan.

Hati kuberikan dengan kerelaan, karena aku ingin engkau menyimpannya di dadamu, sebelum aku merobek dadamu dan mengambil hatimu dan menyimpannya di dadaku, maka kita tidak perlu mempertarungkan kata-kata tentang isinya sewaktu-waktu hingga berhari-hari dan membuat kita bagai orang tanpa kepala.

Belati kubawakan bukan untuk mengancammu, melukaimu, bahkan membunuhmu. Aku hanya ingin melindungimu dari iblis-iblis bertaring dan bertanduk dan berbulu dan berekor dan berlidah cabang tiga belas yang akan mencakari tubuhmu dari kiri dan kanan, dari depan dan belakang, dan dari pencoleng-pencoleng yang akan merobek dadamu dan mengambil hatiku yang disangkanya hatimu dan menyimpannya di dada mereka, padahal seharusnya mereka tahu ruang di dadamu hanya cukup untuk hatiku dan ruang di dadaku hanya cukup untuk hatimu, karena hati kita sama besar, sungguh-sungguh sama, maka itulah yang membuat kita bisa hidup selamanya bila kita telah merobek dada dan menukarnya. Tidak mati salah satunya hanya lebih dahulu beberapa helaan, karena sudah pasti disusul kematian berikutnya.

Kematianku, atau kematianmu.

5

Terimalah hati dan belati yang kubawa, karena inilah harta yang kumiliki. Semata. Aku tidak akan membeli tubuhmu dengan sebongkah besar berlian atau sebuah istana berpintu seribu menghadap laut, karena aku tidak memilikinya dan aku bukan lelaki yang akan menyimpan perempuan-perempuan mereka di dalam kamar-kamar rahasia dan menyetubuhinya siang dan malam dengan kerakusan.

Bila sudah kurobek dadamu dan mengambil hatimu dan menyimpannya di dadaku, dan hatiku yang kubawa di tangan kananku kuletakkan di dadamu, maka akan kuhadiahi engkau dengan bunga-bunga setiap pagi dan malam.

Pagi ketika engkau terbangun dari tidur dengan rambutmu yang panjang dan berantakan tetapi wajahmu tetap indah, padahal pernah kudengar seorang perempuan tua berkata, ”Seorang perempuan nyata indahnya ketika ia terbangun dari tidur pagi harinya.”

Malam ketika engkau akan terlelap dalam mimpi-mimpi yang kuharapkan indah, dengan rambutmu yang tersisir dan wangi bunga-bunga yang akan membuat wajahmu semata-mata indah dan memabukkanku, padahal pernah kudengar seorang lelaki tua berkata, ”Keindahan perempuan untuk di mata dan di badan.”

Akan kuberikan engkau ciuman di kening setiap malam dan pagi hari sebagai rasa bungah cintaku kepadamu. Bukan lumatan di bibir atau buah dadamu, karena aku mencintai hadirmu, bukan semata tubuhmu, maka aku tidak akan memperkosamu sejak sebelum tengah malam hingga ayam jantan berkokok bersama keluarnya matahari.

Malam ketika engkau akan terlelap dalam mimpi-mimpi yang kuharapkan indah, dengan rambutmu yang tersisir dan wangi bunga-bunga yang akan membuat wajahmu semata-mata indah dan memabukkanku. Pagi ketika engkau terbangun dari tidur dengan rambutmu yang panjang dan berantakan tetapi wajahmu tetap indah. Semata-mata.

Akan kuganti baju tebal berwarna lumut namun terlalu banyak lumut yang menutupinya, panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku, dengan jubah berwarna merah bersulam naga-naga dari benang emas, meski tetap panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku.

Akan kuhabisi rambut panjang melebihi punggung yang tidak pernah kucuci dengan batang-batang padi kering dan sering membuat kepalaku gatal-gatal dan berkutu dan sudah puluhan tahun kusengajakan berpilin-pilin, meski aku membenci Daun Kenikmatan karena akan membuatku bodoh dan bicaraku bagai orang dungu. Maka rupaku akan laksana Penguasa Negeri Pasir, meski aku membenci manusia bodoh yang menganggap dirinya Sang Maha Segala dan aku selalu tertawa bila mengingatnya tenggelam bersama pasukan berkudanya di laut luas saat mengejar lelaki yang dijadikannya sebagai musuh besar, yang pergi bersama pengikut-pengikutnya, padahal saat kanak-kanak lelaki itu dijadikannya sebagai saudara sedarah karena mereka datang dari dua rahim.

Akan kupotong kuku di tangan kiri dan kanan yang panjang-panjang sehingga aku mirip setan bermata besar, bergigi taring, berambut putih panjang sekaki, bongkok dan berpunuk yang muncul dari balik asap ledakan, kata orang ledakan sekantung kecil pasir warna abu-abu, padahal tidak mungkin sekantung kecil pasir warna abu-abu meledak sedahsyat itu. Maka tanganku akan begitu indah hingga tidak lagi membuatku laksana setan yang datang dari lubang-lubang besar di kaki gunung.

Terompah dari kulit domba dengan lapis sutra dan butir-butir emas akan membungkus kedua kakiku. Mahkota dari emas dengan butir-butir berlian dan permata akan melindungi kepalaku. Sebuah kereta dengan kuda-kuda yang kuat dan bersih akan mengikutiku kemana angin.

6

Namun aku tidak akan memaksamu. Bila hari ini engkau mengutuk sebuah ketiba-tibaan, maka aku akan menunggumu hingga beberapa hari berpikir meski kerut-kerut membuat keningmu hilang indahnya, dan hari ketujuh aku akan kembali mendatangi dengan sebuah pertanyaan berhari lalu: ”Bersediakah engkau menerima hati dan belati yang kubawakan untukmu?”

Bila hari itu engkau belum pula memiliki kata, maka aku akan mendatangimu tujuh hari kemudian, lalu pada hari ke-21, 28, 35, 42, 49, 56, 63, 70, 77, 84, 91, 98, 105, 112, 119, 126, 133, 140, 147, 154, 161, 168, 175, 182, 196, 203, 210, 217, 224, 231, 238, 245, 252, 259, 266, 273, 280, 287, 294, 301, 308, 315, 322, 329, 336, 343, 350, 357, 364.

Lalu pada hari ke-365 aku akan berhenti, karena aku tahu, engkau tidak berkenan.

Tentu tubuhku terlalu bau dan kotor, meski wajahku tidaklah buruk, maka engkau menampik diriku. Tentu aku membawa persembahan yang tidak akan membawamu ke atas menara emas, maka engkau tapi-kan diriku. Tentu engkau mengharapkan seorang lelaki akan membeli tubuhmu dengan sebongkah besar berlian atau sebuah istana berpintu seribu menghadap laut, meski engkau tahu akan disimpannya bersama perempuan-perempuan lain di dalam kamar-kamar rahasia dan engkau akan disetubuhinya siang dan malam dengan kerakusan semata. Dengan kerakusan. Semata.

Namun aku bahagia karena hari ini suara Sang Kejahatan kalah memekakkan. Ia menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan bersorak-sorai sambil menghentak-hentakkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku.

Meski membuatku semakin pusing tiga belas putaran.

Kubawa sakit di kepala dan kakiku yang retak-retak kepanasan, mengelilingi tanah-tanah dan pasir-pasir dan debu-debu dengan kedua telapak tanganku yang terbuka, mencari tempat menghadap laut untuk menanam hatiku yang merah dan tidak lagi berlumur darah di tangan kanan, dan belati mengkilat di tangan kiri.

Aku akan menunggumu di gerbang ruh-ruh abadi.

Pondok Pinang, 2302
READ MORE - Belati Dan Hati

Kain Perca Ibu


Ada kebiasaan Ibu yang telah dilakukannya sejak menikah dengan Bapak. Ibu selalu menyimpan pakaian-pakaian yang memiliki arti begitu mendalam baginya.

Salah satunya adalah kebaya pengantin lengkap dengan kain batik pesisiran, rapi ia simpan di dalam koper kecil usang di bawah ranjang. Setelah ijab kabul sekitar lima puluhan tahun silam, kebaya brokat putih itu dikenakan untuk kedua kalinya ketika Mbak Ratih, kakak sulung kami, bersanding dengan lelaki pilihan hatinya di pelaminan.

Sepanjang resepsi perkawinan Mbak Ratih, kami adik-adik perempuannya menatap kagum sekaligus iri. Membayangkan betapa sakralnya riwayat kebaya yang saat itu melekat di tubuh Mbak Ratih. Kebaya itu dijahitkan sendiri oleh mendiang ibunya Ibu di tengah keadaan negeri yang sedang porak-poranda.

Sekitar pertengahan tahun 1950-an Indonesia dalam keadaan darurat perang karena banyaknya pemberontakan di berbagai daerah di tanah air. Militer memegang posisi yang menonjol dalam mengatur kehidupan masyarakat. Kemiskinan terasa sampai ke pelosok-pelosok. Ibu dan Bapak yang tinggal di pinggiran kota kecil Magelang dinikahkan secara sederhana di tengah keadaan ekonomi yang kacau-balau. Banyak rakyat terpaksa makan bulgur, semacam campuran ketan dan beras, yang menurut informasi diperoleh dari sisa makanan ternak kiriman Amerika untuk membantu rakyat Indonesia.

Karena tidak punya uang untuk membeli kain brokat yang layak, mendiang Eyang Putri terpaksa mengeluarkan gorden yang biasanya hanya dipasang menghiasi ruang tamu untuk acara istimewa setahun sekali seperti kaulan dan kendurian. Gorden yang terbuat dari kain semacam brokat itu pun digunting Eyang Putri dan dijahit menjadi kebaya pengantin. Seusai menikah, Bapak yang tentara itu harus buru-buru berangkat ke medan perang melawan pemberontak.

Sejarahnyalah yang membuat kebaya itu begitu terasa mahal saat dikenakan oleh Mbak Ratih yang menjadi pengantin. Entah bagaimana cara Ibu menyimpannya. Kebaya itu masih tampak sekemilau dulu. Ibu menisik dengan sangat hati-hati bagian-bagian yang mulai renggang dan menambahkan manik-manik agar terlihat lebih indah dan modern.

Mewariskan pakaian lama itu merupakan pertanda cinta Ibu kepada keturunannya. Bagi kami pun sudah menjadi semacam tradisi yang ditunggu-tunggu. Ibu hanya melakukannya untuk momen-momen penting bagi keluarga kami. Sebelum memberikannya, biasanya Ibu mengumpulkan semua anak perempuannya di ruang tengah, kami duduk bersila di lantai, Ibu duduk di kursi menceritakan terlebih dulu riwayat pakaian itu. Kami seperti terseret pada kenangan masa lalu yang mengharu biru. Lalu kami semua berharap-harap cemas menantikan siapakah yang menjadi orang yang beruntung pada hari itu.

Ketika putri pertama Mbak Ratih lahir, yang juga menjadi cucu pertama Ibu, Ibu melungsurkan selimut dan baju bayi yang dulu membungkus tubuh mungil Mbak Ratih ketika pertama kali menghirup udara bebas di barak militer karena saat itu negara sedang sibuk menumpas pemberontakan. Bayangkan. Betapa Ibu tidak pernah melewatkan setiap peristiwa penting dalam kehidupannya.

Jika bukan kami yang terpilih, dan tidak beruntung pada hari itu, kami akan masuk ke kamar masing-masing dengan kepala menunduk, menyimpan tangis kami diam-diam. Karena itu artinya kami belum dianggap istimewa oleh Ibu.

***

Tradisi itu berlanjut hingga kami, anak-anak perempuan Ibu, pindah berpencar ke kota-kota lain, menikah dan punya anak. Aku merantau ke Jakarta, bekerja dan menikah dengan Mas Harris. Mbak Ratih pindah ke Bandung mengikuti suaminya. Mbak Suti menetap di Semarang dengan keluarganya. Laras, adik bungsu kami, memilih tinggal di Bogor dengan suami dan anak-anaknya. Hanya Ibu dan Bapak yang berkeras tetap tinggal di Magelang, meskipun Bapak sudah pensiun dari ketentaraan.

Setiap Lebaran kami berkumpul di sana, setelah acara sungkem dan makan ketupat opor buatan Ibu, kami akan berkumpul di ruang tengah. Seperti dulu. Hanya kali ini dengan anggota yang lebih banyak. Karena ditambah dengan cucu-cucu Ibu yang sudah berjumlah delapan orang. Dua orang cucu dari Mbak Ratih, tiga dari Mbak Suti, satu dari aku, dua dari Laras.

Perasaan kami masih seperti dulu, berdebar-debar cemas, menunggu siapakah yang dipilih Ibu pada Lebaran tahun ini. Sedangkan bagi anak-anak kami, cerita Ibu seperti dongeng sejarah yang mengagumkan. Mungkin di benak mereka seperti melihat film dokumenter dengan layar hidup.

Siapa yang beruntung mendapatkan lungsuran pakaian merasa seperti menjadi pemenang lotre miliaran rupiah. Dan sepanjang tahun, cerita itu akan didengung-dengungkan terus di antara keluarga kami. Menjadi topik hangat sampai tiba Lebaran berikutnya.

***

Yang paling berkesan bagiku adalah Lebaran lima tahun yang lalu. Ibu menyerahkan kebaya Kartini berukuran mungil dengan sulaman emas yang cantik sekali. Menurut Ibu, itu adalah kebaya yang kupakai saat perayaan hari Kartini ketika aku masih kelas satu sekolah dasar. Ketika itu aku diminta oleh guru menjadi Kartini dalam sandiwara yang dipentaskan di sekolah, lalu diajak berkeliling kecamatan bersama pawai sekolah.

Kebaya itu yang kemudian dikenakan oleh putriku saat pawai yang sama tiga puluh tahun kemudian. Mataku berkaca-kaca melihat putriku yang mungil tampak begitu jelita dalam balutan kebaya beludru. Ibu bercerita, beludru itu diperolehnya dari tetangganya yang juru rias pengantin. Ibu menjahit sendiri dan menambahkan sulaman emas yang memanjang dari leher hingga ke ujung bawah kebaya. Kini aku mengerti betapa besarnya cinta Ibu kepadaku.

Menyadari betapa sehelai pakaian bisa merekam begitu banyak peristiwa penting dalam hidup kami, maka kami pun mengikuti jejak Ibu menyimpan semua pakaian yang kami anggap memiliki nilai sejarah. Kelak saat anak-anak kami dewasa nanti, kami akan menyerahkannya satu per satu kepada mereka dengan cerita yang membuat harganya tidak bisa diukur dengan mata uang mana pun.

***

Tradisi itu terhenti ketika suatu pagi Ibu menelepon kami sambil terisak-isak. Hanya menangis. Tidak ada kata-kata yang tercetus dari mulutnya yang penuh air mata. Kami tahu apa yang terjadi, dan segera berangkat ke Magelang dengan pesawat paling pagi.

Kami menguburkan jasad Bapak keesokan harinya di pemakaman umum dekat rumah agar Ibu mudah kapan pun ingin nyekar. Karena kami semua bekerja, kami sepakat untuk bergantian menjaga Ibu selama masa berkabungnya. Aku mengambil cuti untuk bisa menemani Ibu melewati kesedihannya ditinggal Bapak. Tapi rupanya kehadiranku seperti tidak nyata di mata Ibu. Ibu yang dulu begitu periang dan senang mengobrol sekarang menjadi pendiam dan sering duduk melamun di beranda. Di sana biasanya Ibu menemani Bapak melewati waktu senja, minum kopi tubruk dan pisang goreng, sambil bernostalgia. Aku memahami kepedihan Ibu. Jadi aku biarkan saja Ibu dengan dunianya. Aku duduk menemaninya di sana. Sama-sama diam. Yang penting aku bisa memastikan bahwa Ibu tetap sehat dan tidak kekurangan suatu apa.

Setelah lewat berbulan-bulan, kami melihat kondisi Ibu mulai cukup tenang. Kami, anak-anak perempuan Ibu, berembuk untuk membujuk Ibu menjual rumah lalu pindah tinggal di rumah salah satu dari kami. Ibu boleh memilih ingin tinggal di Bandung, Semarang, Bogor, atau Jakarta. Mbak Ratih yang kami minta mewakili pergi ke Magelang untuk meluluhkan hati Ibu. Dari semua anak perempuannya, Mbak Ratih yang paling banyak mendapatkan lungsuran pakaian simpanan Ibu.

Mbak Ratih pulang tanpa membawa Ibu. Ibu berkeras tinggal sendiri di Magelang, dengan seorang pembantu. Hidup dengan segala kenangannya tentang Bapak.

***

Mbak Suti yang tinggal paling dekat dengan Ibu sering kali harus pulang-pergi Semarang-Magelang untuk mengawasi keadaan Ibu. Kami merasa kasihan kepada Mbak Suti karena selain bekerja, ia juga mengurus anak-anaknya sendiri.

Supaya Ibu tidak terlalu larut dengan kesedihan, akhirnya kami berkompromi bergantian membelikan tiket pesawat untuk Ibu. Dengan begitu Ibu bisa bergantian menginap di rumah kami, mengunjungi anak-anak dan cucunya secara rutin. Mungkin dengan berada di antara kami, hati Ibu akan sedikit terhibur. Ibu bersedia, tapi tidak bersedia naik pesawat. Terpaksa kami membelikannya karcis kereta api, meskipun khawatir dengan keadaan fisiknya yang mulai renta.

Rupanya Ibu bahagia naik kereta api. Ibu bisa mengingat kembali masa-masa pacaran dan bulan madunya bersama almarhum Bapak, bertemu di peron, dan bepergian naik kereta api.

Sesibuk apa pun, aku sekeluarga selalu menyempatkan menjemput Ibu di stasiun. Aku, suamiku, dan putriku. Ibu memeluk kami erat-erat. Tampak bahagia bertemu kami. Meskipun aku melihat ada ruang kosong di matanya.

Ada yang hilang dalam setiap pertemuan kami. Ibu tidak pernah lagi melungsurkan pakaian-pakaian lamanya. Kami pun tidak berani mengungkitnya. Mungkin Ibu butuh waktu untuk pulih. Karena kini menceritakan kenangan berarti mengungkit lagi kesedihannya. Semua saat yang bernilai baginya tentu erat berkaitan dengan almarhum Bapak. Ibu melahirkan Mbak Ratih ketika Bapak harus bertugas menumpas pemberontakan. Ibu menamakanku Sri karena bidan bernama Sri yang dijemput Bapak subuh-subuh naik sepeda ontel untuk membantu persalinan Ibu melahirkanku. Dan, semua hal yang dulu terasa patriotik sekarang menjadi begitu pedih. Karena Bapak telah pergi.

***

Rupanya dalam setahun Ibu menemukan kembali dirinya. Lebaran tahun itu, ketika kami menjenguknya di Magelang, Ibu kembali kepada tradisi lamanya. Ibu mengumpulkan kami semua di ruang tengah dan mulai bercerita. Satu per satu peristiwa diceritakan dengan rinci oleh Ibu. Kami menyimak sungguh-sungguh. Di saat kami tengah hanyut dengan ceritanya, Ibu mengeluarkan sehelai kain lebar, membentangkannya di hadapan kami. Kami terbelalak melihat hamparan kain berisi potongan-potongan kain perca yang disambung dan dijahit menjadi bed cover.

Semua peristiwa yang baru saja diceritakannya itu tiba-tiba saja terobek-robek, menjadi potongan-potongan yang tidak bernilai, menjadi seonggok bed cover lebar.

”Kita ndak boleh termakan kenangan,” begitu kata Ibu, tersendat. ”Kita bisa mati merana.”

***

Sekarang setiap kali mengunjungi rumah anak-anaknya, Ibu selalu meminta kami mengeluarkan pakaian-pakaian lama yang masih kami simpan. Dengan berat hati kami memberikannya. Di hadapan kami juga, Ibu menggunting pakaian-pakaian itu menjadi potongan-potongan kain perca. Kami yang sejak kecil terbiasa mendengarkan betapa pakaian menyimpan nilai sejarah, jadi merasa seperti teriris-iris.

Pada kunjungan berikutnya, potongan-potongan kain perca itu telah dijahit Ibu, dan berubah menjadi bermacam-macam fungsi. Kemahiran Ibu menjahit rupanya tidak termakan usia. Ibu menyulapnya menjadi seprai, sarung bantal, taplak meja, yang menawan.

Kadang-kadang kami usil memesan Ibu untuk menjahitkan kain perca itu menjadi bermacam-macam hal remeh seperti serbet, keset, sampai tutup galon air mineral. Mbak Ratih malah pernah mengusulkan agar Ibu membuka bursa pengumpulan baju bekas di rumahnya, lalu menjual hasil jahitan kain percanya.

Kini kami terbiasa menertawakan sejarah. Di rumahku misalnya. Kami melihat kemeja kerja suamiku yang pertama kali dikenakan ketika naik jabatan menjadi alas piring makan kami. Atau baju batikku ketika menghadiri pementasan tari putriku menjadi tatakan gelas minum. Sungguh lucu rasanya. Kami tertawa-tawa mengingat semua peristiwa itu.

***

Suatu pagi pembantu di rumah Ibu meneleponku dengan suara panik. Ibu terjatuh di kamar mandi. Aku langsung berangkat naik pesawat dengan jadwal paling awal. Sesampainya di Magelang, semua anak perempuan Ibu sudah berkumpul. Aku melihat Ibu telah dibaringkan di ranjang di ruang tengah, tempat kami biasa berkumpul. Jasad Ibu diselubungi kain perca jahitannya sendiri.

Aku menghambur memeluk Ibu. Mencium punggung tangannya dengan penuh bakti untuk terakhir kali.

***

Seminggu setelah kepergian Ibu, baru kami memiliki kekuatan untuk membereskan barang-barang peninggalan Ibu. Kami melakukannya bersama-sama. Keempat anak perempuan Ibu. Kami melangkah masuk ke kamar Ibu dengan air mata tertahan.

Perlahan kami membuka lemari pakaian Ibu. Menemukan setumpuk pakaian Bapak di sudut sana. Utuh. Terlipat rapi. Tidak digunting Ibu menjadi potongan-potongan kain perca.

Jakarta, 7 Desember 2010
READ MORE - Kain Perca Ibu

Jumat, 13 Mei 2011

Menulis : Kebutuhan untuk Berkembang


Oleh : M Farid W Makkulau

SAAT ini anda sebagai apa dan mau jadi apa ? Tidak semua profesi memerlukan keterampilan menulis, tapi jika anda memiliki keterampilan menulis maka itu akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi profesi yang dijalani. Bagi guru dan dosen, keterampilan menulis bukanlah kebutuhan tapi bisa menjadi tuntutan keahlian untuk berkembang dan mengembangkan diri. Siapa tak ingin mendapatkan predikat Guru yang penulis dan penulis yang guru. Jujur saja, pasti banyak guru menginginkannya, apalagi bagi mereka yang mengejar kredit untuk naik pangkat / golongan. Terlebih lagi bagi seorang dosen.

Motivasi menulis setiap orang berbeda – beda. Ada yang menulis sebagai salah satu bentuk curhat, penyaluran isi pikiran dan ekspresi jiwa, mengurangi beban pikiran dengan berbagi pengalaman, intinya, ada kepuasan tersendiri ketika semuanya telah tertuliskan. Ada pula yang menulis sebagai bentuk aktualisasi diri, ingin dikenal dan mengenal banyak orang, kesarjanaan dan pendapat keilmuannya lebih bermakna ketika tersalurkan lewat tulisan dan dengan itu pembaca mendapatkan tambahan pengayaan pengetahuan. Suatu motivasi yang tulus untuk berbagi. Namun tak sedikit pula orang yang menulis untuk mendapatkan tambahan pemasukan (keuangan). Hal ini tentu tidak salah dan sah – sah saja orang mendapatkan honor dari menulis, terlebih itu termuat di suatu media komersial, baik cetak maupun online.

Apapun motivasi kita menulis, pada dasarnya dengan tulisan itu—sadar atau tidak—itu membuat kita berkembang selangkah lebih maju dibanding orang yang tidak tahu atau belum menulis. Menulis itu merupakan suatu proses pembelajaran. Orang yang menulis adalah orang yang belajar. Sebuah tulisan haruslah sistematis : kata dan kalimat harus terangkai dengan baik, paragraf demi paragraf harus tersusun dengan apik. Karena itu, orang yang menulis adalah orang yang senantiasa melatih dirinya berpikir secara sistematis. Jika anda penulis yang baik, saya yakin anda juga pembicara yang baik. Sebaliknya, pembicara yang baik belum tentu seorang penulis yang hebat.

Ketika anda akan memulai menulis, sadarilah bahwa menulis itu kebutuhan untuk berkembang. Kesadaran bahwa menulis merupakan salah satu jalan untuk melejitkan kemampuan pikiran dan perasaan, ”Power of Think and Feeling”. Kesadaran ini perlu dijaga supaya anda tidak mudah patah semangat ditengah jalan. Senantiasalah yakinkan diri bahwa, ”Saya mampu menulis. Kalau orang lain bisa menulis maka sayapun harus bisa”. Buat apa anda mengecap banyak teori menulis, tips dan trik dari A sampai Z kalau anda tidak memiliki ”power” untuk menulis ? .Kelolalah dengan baik ide, gagasan, pengalaman anda kemudian mulailah menulis. Percaya dirilah pada setiap kata dan kalimat yang ’berbicara’ di tulisan anda, teruslah menulis, tetaplah tuliskan semua yang terlintas di pikiran anda kemudian lihat, periksa dan baca kembali apa yang sudah anda tuliskan. Jika anda tidak percaya diri dalam menulis, pada setiap kalimat yang anda tuliskan, saya yakin semuanya hanya berakhir di tong sampah dan selamanya tulisan itu unpublished (tidak terpublikasikan).

Anda tahu, banyak orang yang berasal dari jurusan komunikasi dan sastra tapi setelah lulus tidak mampu menjadi penulis yang baik. Padahal, secara teoritis dia tentu sudah mengecap berbagai teori komunikasi dan sudah lahap pula mengenyam berbagai tips dan trik menulis. Sebaliknya, banyak orang dari jurusan teknik, kesehatan, kedokteran, dan yang lainnya namun mampu menulis dengan baik dan bernas. Ini berarti untuk menulis yang baik, anda tak perlu banyak – banyak ’makan’ teori, tapi yang perlu dilakukan adalah pembiasaan atau latihan terus menerus. Latihan menulis itu harus dibarengi dengan kesadaran dan kepercayaan diri, artinya dalam menulis anda harus berkembang dengan optimis. Latihannya jangan begitu – begitu terus. Kalau hari ini anda hanya bisa menyelesaikan satu halaman, besoknya harus tiga sampai lima halaman, besoknya lagi harus 10 halaman. Begitu seterusnya, berkembang dengan optimis.

Setelah anda rajin menulis, latihan terus menerus hingga akhirnya tulisan anda semakin hari semakin baik dan membaik, semakin enak dibaca dan bernas (berisi), teruslah berkembang dengan optimis, maju terus selangkah demi selangkah sampai kemudian anda harus melakukan ini : membaca issue dan perkembangan yang terjadi. Anda jangan jalan di tempat, ’berkembang dengan optimis’ itu mengharuskan anda mengikuti issu dan perkembangan yang terjadi. Tantanglah diri anda menulis hal – hal yang fenomenal, aneh, unik dan baru. Banyaklah membaca berita dan opini orang lain di banyak media sebagai bahan perbandingan, sambil mempelajari gaya penuturan dan cara menulisnya. Jangan cepat menyerah, pada akhirnya waktu jualah yang menentukan apakah anda orang pesimis atau optimis dalam menggembleng diri menjadi seorang penulis yang baik (best writer). (*)
READ MORE - Menulis : Kebutuhan untuk Berkembang