ORANG tua Bluke Kecil tinggal di ruang bawah tanah sebuah
gedung besar. Sewa ruang bawah tanah memang sangat murah, dan orang tua
Bluke tidak mungkin tinggal di ruang lain yang lebih mahal. Tentu saja, ruang
bawah tanah tidak sehat. Kalau musim panas sinar matahari jarang menjenguk
ruang bawah tanah, dan kalau musim dingin, ruang bawah tanah bukan main
dingin. Dan, barang siapa tinggal di ruang bawah tanah pasti tidak mungkin
menengok ke luar dengan bebas, sebab jendelanya sangat sempit, dan untuk
menjenguk ke luar, mau tidak mau orang itu harus naik ke kursi atau meja.
Detik demi detik, dengan sendirinya, ruang bawah tanah pasti mengundang
berbagai macam penyakit.
Ayah Bluke Kecil, Stavender namanya, adalah penjinak binatang buas Kebun
Binatang Skebersky. Setiap hari, bahkan pada hari-hari libur resmi pun,
Stavender berangkat ke kebun binatang menjelang jam enam pagi, dan menjelang
jam tujuh malam baru sampai rumah kembali. Begitu tiba di rumah dia menyuruh
Bluke Kecil mengambilkan bir, minum bir, batuk-batuk sebentar, kemudian
tidur. Hanya kadang-kadang dia mengelus-elus kepala Bluke Kecil, dan hanya
kadang-kadang dia berbicara kepada Bluke Kecil.
Ibu Bluke Kecil, Greta namanya, adalah sopir taksi. Lebih kurang satu
setengah jam setelah suaminya berangkat ke kebun binatang, Greta juga pergi.
Berbeda dengan suaminya, dia tidak bisa menentukan jam berapa kira-kira dia
akan pulang. Kalau penumpang banyak maka dia pulang malam, dan kalau
kebetulan taksinya sedang tidak laku dia pulang lebih awal. Kadang-kadang,
pada saat dia pulang dia dapat bertemu dengan suaminya, dan kadang-kadang,
dan ini lebih sering, suaminya sudah tidur dengan dengkur yang memekakkan
telinga baik istrinya maupun Bluke Kecil.
Sebagaimana suaminya, begitu sampai di rumah Greta pasti berteriak: ''Bluke
Kecil, ibu kamu sudah datang! Ambilkan bir! Apa kerjamu sepanjang hari,
Bluke Kecil?''
Setiap hari ibu Bluke Kecil berteriak begitu, dengan nada yang benar-benar
sama, tanpa ada perubahan sama sekali. Dan sambil berteriak minta bir, boleh
dikatakan hampir selamanya ibu Bluke Kecil tidak pernah menengok ke arah
Bluke Kecil. Mungkin, pada suatu saat kalau dia pulang dan Bluke Kecil sudah
mati, dia tidak akan tahu bahwa Bluke Kecil, anak darah dagingnya sendiri,
sudah tidak bernapas. Sebagaimana suaminya, kadang-kadang dia juga
mengelus-elus kepala Bluke Kecil.
Setiap kali ayahnya mengelus-elus kepalanya Bluke Kecil selalu ketakutan,
demikian pula setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya. Sambil
mengelus-elus, ayahnya selalu bercerita mengenai binatang-binatang buas dan
sekian banyak korban yang sudah diganyang binatang buas, atau paling tidak
dilukai oleh binatang buas. Bluke Kecil merasa, ayahnya memang sengaja
menakut-nakutinya. Dan setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya, ibunya
selalu bercerita mengenai sekian banyak laki-laki yang pernah dipukul dan
ditendangnya, dan sekian banyak perempuan yang pernah dia tempeleng, atau
dia jambak rambutnya. Bluke Kecil merasa ibunya, sebagaimana pula ayahnya,
sengaja memberi kesan bahwa dirinya hanyalah makhluk tidak berharga.
Tubuh ibu Bluke Kecil memang luar-biasa besar, namun luar biasa lincah. Bos
taksi tempatnya bekerja menyukai dia karena dia jujur, berani, dan tidak
pernah ragu-ragu menendang penumpang taksi yang kurang ajar, atau menggebuki
teman-teman kerjanya yang bertingkah tidak senonoh. Setelah ibu Bluke Kecil
bekerja sekian lama, sebetulnya bosnya ingin dia bekerja di kantor, dan
bukan lagi menjadi sopir, namun dia menolak. Dia bilang bekerja sebagai
sopir lebih nyaman, karena dia bisa bergerak ke banyak tempat. Dan kalau ada
penumpang minta diantarkan ke luar kota, katanya, rasanya lebih nikmat.
Tanpa disangka-sangka, sekonyong-konyong pada suatu hari ayah dan ibu Bluke
Kecil bersikap sangat manis. Mereka mengajak Bluke Kecil berjalan-jalan ke
kebun binatang, menonton film anak-anak, mengunjungi sekian banyak toko,
kemudian masuk ke restoran. Dan akhirnya mereka menonton sirkus.
Setelah sampai di rumah ayahnya berkata, bahwa mulai bulan depan Bluke Kecil
harus masuk sekolah. Ayah dan ibu Bluke Kecil telah memilihkan sekolah yang
baik, mahal, dan bersih, meskipun jauh. Karena itu, kata ibunya, ayah dan
ibunya akan mendidik dia agar dia siap memasuki dunia yang sesungguhnya.
Selama satu bulan penuh ayah dan ibu Bluke Kecil lebih banyak tinggal di
rumah.
''Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, kadang-kadang kamu ke luar rumah pada waktu
ayah dan ibu bekerja.''
Bluke Kecil diam.
''Kamu tahu, Bluke Kecil, ayah dan ibu berkali-kali mengatakan kamu tidak
boleh ke luar rumah kalau ayah dan ibu sedang bekerja. Kamu melanggar. Dan
ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.''
Bluke Kecil tetap diam, namun dalam hati berkata: ''Udara ruang bawah tanah
tidak sehat. Kalau saya hanya mengeram di sini terus, pasti saya sudah
menjadi mayat.''
''Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, setiap kamu ke luar sendirian, pasti kamu
menemui kesulitan. Kamu diejek, dihina, dimintai uang. Kadang-kadang kamu
juga ditonjok perut kamu sampai beberapa kali kamu muntah. Dan meskipun kamu
jarang kapok, kamu sebetulnya takut.''
Bluke Kecil tetap diam.
''Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, bahwa uang yang dirampas oleh orang-orang
jalanan itu jauh lebih besar dari uang saku kamu. Jangan kamu kira bahwa
ayah dan ibu tidak tahu dari mana kamu memperoleh uang sebanyak itu. Ayah dan
ibu tahu kamu mencuri, mencuri uang ayah dan ibu kamu sendiri, dari situ,
laci meja itu, dari situ, almari itu, dan dari situ, kotak di pojok itu. Kamu
memang cerdik. Uang yang ayah dan ibu sembunyikan di bawah kasur supaya
tidak mudah kamu endus ternyata juga kamu curi. Dan cara kamu mencuri juga
cerdik. Kamu tidak pernah mencuri dalam jumlah besar supaya tidak mencolok.
Kamu selalu mencuri dalam jumlah kecil-kecilan tapi terus-menerus."
Ibu Bluke Kecil mengeluarkan catatan, lalu berkata: ''Inilah daftar uang yang
kamu curi, Bluke Kecil. Ada tanggalnya, ada harinya, ada jamnya, ada juga
uang dari tempat mana yang kamu curi. Semuanya tercatat serbarinci,
serbajeli, serbatepat. Kamu jangan menyangkal. Jangan. Namun ketahuilah,
Bluke Kecil, ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.''
Lalu ayah dan ibu Bluke Kecil memberi tahu cara-cara untuk mempertahankan
diri manakala dalam perjalanan pergi pulang ke sekolah nanti dia dihina,
ditempeleng, dan dimintai uang oleh berandal-berandal jalanan.
''Jangan takut kepada mereka, Bluke Kecil. Ayah dan ibu kamu berusaha keras
untuk membuat kamu manusia bermartabat, jangan sampai terus-menerus
dikalahkan, diinjak-injak, dan tidak ada habisnya dianggap sebagai sampah.
Kamu harus melawan, Bluke Kecil, kalau kamu memang akan diinjak-injak. Namun
kamu juga harus ingat, Bluke Kecil, kamu tidak boleh menyakiti siapa pun
sebelum kamu disakiti terlebih dahulu. Lakukanlah tindakan-tindakan baik kepada
semua orang. Namun kalau semua orang membalas perlakuan baik kamu dengan
penghinaan, lawanlah mereka.''
Ayah dan ibu Bluke Kecil kemudian mencopot semua pakaian mereka. Dan baru
kali itulah Bluke Kecil melihat ayah dan ibunya telanjang. Bagi Bluke Kecil,
dalam keadaan telanjang ayah dan ibunya tidak tampak sebagai manusia, tapi
sebagai sepasang binatang purba yang amat janggal dan juga amat lucu.
Bluke Kecil yakin, ayah dan ibunya pasti tidak tahu bahwa sebagian uang
curian yang dicatat oleh ayah dan ibunya dengan rapi itu sebetulnya dia
pergunakan untuk menyewa komik di kios tidak jauh dari jembatan. Hampir
setiap hari Bluke Kecil pergi ke kios itu, membaca beberapa komik, lalu
membayar sewanya, lalu pergi ke beberapa tempat lain sebelum akhirnya
pulang.
Dari komik-komik itulah Bluke Kecil belajar membaca sendiri, dan akhirnya
juga belajar menulis sendiri. Dan inilah yang tidak diketahui oleh ayah dan
ibu Bluke Kecil. Dan inilah salah satu sebab yang mendorong keyakinan Bluke
Kecil bahwa mencuri tidak selamanya jahat.
''Sekarang, Bluke Kecil, copotlah semua pakaian kamu.''
Bluke Kecil terpaksa ikut telanjang. Dalam hati Bluke Kecil ada perasaan
ngeri. Seolah-olah dia ikut-ikutan tidak menjadi manusia, namun menjadi
binatang purba. Dan bukan hanya itu. Seolah-olah dia tidak mempunyai benteng
pertahanan apa pun. Segala sesuatu dalam perasaan dan pikirannya seolah-olah
bisa dibaca bukan hanya oleh ayah dan ibunya, namun juga oleh semua seluruh
dunia.
''Lihatlah ibu kamu, Bluke Kecil,'' kata ayah Bluke Kecil.
Dengan gerak tenang, gemulai, dan meyakinkan, tangan ibu Bluke Kecil menapak
lantai, kemudian seluruh berat tubuhnya disangga oleh kekuatan sepasang
telapak tangannya. Lalu tubuhnya turun, ganti kepalanya yang menyangga berat
tubuh, lalu dalam keadaan kakinya di atas dan kepalanya di bawah, ibu Bluke
Kecil bersedekap. Ibu Bluke Kecil bernapas dengan tenang, kemudian tidur
dalam keadaan tetap berdiri di atas kepala. Selang lebih kurang sepuluh
menit ibu Bluke Kecil melakukan gerakan-gerakan lain, dan ayah Bluke Kecil
bertindak sebagai pelatih.
Melalui latihan keras dan melelahkan, dalam waktu sepuluh hari Bluke Kecil
sudah sanggup menirukan gerakan-gerakan dasar ayah dan ibunya. Karena Bluke
Kecil dapat belajar dengan cepat, ayah dan ibunya menyatakan perasaan bangga
mempunyai anak Bluke Kecil.
Dalam latihan-latihan itu perlahan-lahan Bluke Kecil menyadari bahwa
sebetulnya ayah, ibu, dan anak saling mencintai. Ada ikatan batin yang
sangat kuat di antara mereka. Kendati sampai saat itu Bluke Kecil masih
merasa ada tembok-tembok kuat yang memisahkan ayah, ibu, dan dirinya, Bluke
Kecil merasa bahwa tembok-tembok kuat itu justru penting untuk mempersatukan
kasih sayang mereka.
Selama beberapa kali diajak ke kebun binatang dan perusahaan tempat ibunya
bekerja Bluke Kecil benar-benar merasakan bahwa ayah dan ibunya sangat
dihormati di tempat kerjanya masing-masing. Bukan hanya pegawai biasa yang
menghormati ayah dan ibunya, namun juga atasan-atasan mereka. Rasa hormat itu
sama sekali tidak dibuat-buat, namun benar-benar tulus.
Diam-diam Bluke Kecil merasa ayah dan ibunya menuntut agar dia nanti di
sekolah juga dihormati, bukan hanya oleh teman-temannya, tapi juga oleh
guru-gurunya. Ayah dan ibunya tidak menghendaki Bluke Kecil gagal. Kelak,
ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil lagi, ayah dan ibunya ingin agar dia
menjadi manusia yang mempunyai harkat, derajat, dan martabat tinggi.
Bahwa ayah dan ibunya merasa gagal Bluke Kecil tahu dengan pasti setelah
pada suatu malam ayah dan ibunya membuka beberapa peta dunia di meja makan.
Bluke Kecil tahu betul bahwa ayah dan ibunya telah menyimpan peta-peta itu di
tempat tersembunyi, mungkin dengan harapan Bluke Kecil tidak akan
menemukannya dan membuka-bukanya. Namun, sebetulnya, sudah lama diam-diam
Bluke Kecil membuka-buka peta-peta itu dan merenungkan apa gerangan makna
masing-masing tanda pada peta-peta itu.
Bukan hanya itu. Bluke Kecil sudah lama menyembunyikan radio kecil dengan
gelombang panjang dan gelombang pendek, radio yang ditemukannya secara tidak
sengaja di tong sampah kira-kira satu kilo dari tempat tinggalnya. Pada waktu
Bluke Kecil menemukannya, radio kecil itu dalam keadaan rusak. Dengan tekun
Bluke Kecil mengotak-atik radio itu, sampai akhirnya radio itu bisa
mengeluarkan suara-suara gembret. Setelah mencuri uang ibunya Bluke Kecil
lari ke kedai kelontong, membeli dua baterai kecil, dan keluarlah suara-suara
nyaring dari radio kecil itu.
Mulai dari saat itulah Bluke Kecil mempunyai kegemaran yang amat
menyenangkan, yaitu mendengarkan siaran-siaran dari luar negeri melalui
gelombang pendek. Maka, ketika ayah dan ibunya membuka peta-peta dunia di
meja makan tahulah Bluke Kecil makna tanda-tanda pada peta-peta itu. Bluke
Kecil tahu bahwa dunia dibagi dalam lima benua, tahu di mana letak
negara-negara besar, dan tahu di mana letak negara di mana dia tinggal dan di
kota mana dia tinggal. Mencuri uang orang tuanya, dengan demikian, bagi
Bluke Kecil bukanlah dosa, karena uang itu untuk belajar membaca dan menulis,
dan juga untuk membeli baterai, dan dengan baterai itu Bluke Kecil bisa
membayangkan bagaimana dunia ini sebenarnya. Bukan hanya itu. Bluke Kecil
juga bisa mendengar beberapa bahasa dari negara-negara lain di lima benua,
dan Bluke Kecil juga bisa menirukan berbagai bahasa itu.
Bluke Kecil tahu, ayah dan ibunya mempunyai keinginan besar untuk menjadi
pengelana dunia bukan dengan jalan menjadi pegawai perusahaan penerbangan
atau pelayaran, dan karena itu bisa ikut terbang dan berlayar, namun sebagai
orang-orang terhormat dan terkemuka. Sekali lagi, Bluke Kecil tahu. Dan
kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil lagi, tahu bahwa seseorang yang
terhormat dan terkemuka pasti diundang ke mana-mana bukan sebagai pegawai, namun
sebagai pribadi yang kuat. Karena itu, ayah dan ibu Bluke Kecil juga tidak
mau menjadi pengelana dunia sebagai pemain sirkus.
Kalau mau, pasti ayah dan ibu Bluke Kecil bisa menjadi pemain sirkus yang
bukan sembarangan. Ingatlah, ayah Bluke Kecil adalah penjinak binatang buas
yang amat dihormati, dan sebagaimana ibu Bluke Kecil, tubuh ayah Bluke Kecil
juga lentur. Dan Bluke Kecil juga tahu, ayah dan ibunya bukanlah orang-orang
bodoh.
Dalam keadaan pura-pura sudah tidur Bluke Kecil pernah menyaksikan sendiri,
ayah dan ibunya dalam keadaan sama-sama telanjang memelajari titik-titik kuat
dan titik-titik lemah tubuh manusia. Ketika kepala ayah Bluke Kecil dihantam
sebilah kayu panjang oleh ibu Bluke Kecil, ayahnya tidak merasa apa-apa.
Namun begitu tangan ibu Bluke Kecil menyentuh satu titik tepat di atas
pusar, ayah Bluke Kecil menjerit-jerit sambil berjingkrak-jingkrak kesakitan.
Lalu, dalam keadaan pura-pura sudah tidur pula, Bluke Kecil pernah
menyaksikan ayah dan ibunya, dalam keadaan telanjang pula, menari-nari
dengan sangat indah. Dan Bluke Kecil tahu, barang siapa ingin menjadi pemain
sirkus harus pandai menari.
Demikianlah, Bluke Kecil dalam keadaan pura-pura sudah tidur sering
menyaksikan ayah dan ibunya dalam keadaan telanjang melakukan gerak-gerik yang
benar-benar ajaib, kadang-kadang tidak masuk akal, dan kadang-kadang
mengerikan juga. Pernah, misalnya, dengan mempergunakan pedang sewaan, ayah
dan ibu Bluke belajar bertempur, saling menyerang, dan saling ingin
merobohkan.
Bluke Kecil betul-betul tahu bahwa ayah dan ibunya tahu bahwa Bluke Kecil
pura-pura sudah tidur namun sebetulnya masih terjaga. Karena itulah, pada
suatu malam, sehabis saling menyerang dengan pedang sewaan, ayah Bluke Kecil
berkata kepada ibu Bluke Kecil: ''Itu, lho, anak kamu pura-pura tidur.''
Ibu Bluke Kecil menjawab: ''Tinggalkan tempat tidur, Bluke Kecil, lalu,
cepat-cepatlah lepas seluruh pakaian kamu.''
Dan setelah Bluke Kecil bangkit dari tempat tidur, ibunya langsung
menyodorkan sebilah pedang: ''Seranglah saya, Bluke Kecil.''
Bluke Kecil pun bangkit, lalu menyerang ibunya dengan beberapa ayunan
pedang, tapi selalu luput.
''Sekarang seranglah ayah kamu, Bluke Kecil.''
Dan Bluke Kecil pun menyerang ayahnya dengan berbagai ayunan pedang. Tahulah
Bluke Kecil, cara ibunya dan ayahnya menghindar dari serangan ayunan-ayunan
pedang bukanlah dengan gerak biasa, namun gerak tari yang amat indah.
Waktu satu bulan sudah habis, dan tibalah saatnya bagi Bluke Kecil untuk
sekolah.
''Kamu Bluke Kecil, bukan?'' tanya guru ketika kelas pertama pada hari
pertama baru saja dimulai. ''Ayah dan ibu kamu sudah beberapa kali datang ke
sini. Mereka minta izin untuk menyuruh kamu sekolah tiga tahun terlambat.
Boleh-boleh saja. Undang-undang negara kita tidak membatasi umur mulai sekolah,
asal semua anak akhirnya lulus SD, SMP, dan SMA.''
Bluke Kecil mengangguk-angguk.
''Apa kerja kamu selama tiga tahun, Bluke Kecil? Menjadi pengantar koran?
Atau pengantar susu? Undang-undang negara kita tidak melarang anak-anak
bekerja, jadi kamu kerja ini atau kerja itu juga tidak apa-apa."
Bluke Kecil diam, sementara anak-anak lain heran, mengapa ada anak setua itu
baru mulai sekolah, dan mengapa pula ada anak sebesar itu dipanggil ''Bluke
Kecil'', bukan ''Bluke Besar'', ''Bluke Tua'' atau semacam itu. Anak-anak
lain keder, karena mereka tahu, anak sebesar ini atau setua ini pasti jauh
lebih pandai daripada mereka.
Memang, ternyata benar, Bluke Kecil amat pandai. Bluke Kecil tahu banyak
mengenai makna angka dan huruf, ilmu bumi, kata-kata asing, dan sekian
banyak hal yang pernah dibacanya dari komik dan didengarnya dari
siaran-siaran radio luar negeri, dan juga dari bisik-bisik ayah dan ibunya
ketika mereka memperbincangkan dengan nada malu-malu mengenai negeri-negeri
jauh. Maka, pada saat guru mengajar Bluke Kecil sering ngalamun.
Bluke Kecil sadar bahwa dirinya asing dengan siapa pun. Ayah dan ibunya tetap
berlagak sama seperti dulu, yaitu, ''Bluke Kecil, ambilkan bir'', ''Bluke
Kecil, bikinkan kopi'', ''Bluke Kecil, untuk apa kamu mencuri uang lagi?''
dan di sekolah dirinya juga asing dengan teman-temannya, asing pula dengan
guru-gurunya. Anak-anak di sekitar tempat tinggalnya, seperti yang pernah
dikatakan ibunya, mendekati dirinya hanya untuk minta uang, dan kalau tidak
diberi uang mereka menempelengi dia. Bedanya, dulu Bluke Kecil ditempelengi
dan lari atau menyerah dan memberi uang, dan sekarang Bluke Kecil melawan dan
ditakuti. Pelajaran-pelajaran dari ayah dan ibunya telah membentuk Bluke Kecil
sebagai anak pemberani, akan diam kalau tidak diapa-apakan, dan akan
menghajar tanpa ampun apabila disakiti.
Semua guru juga sadar, Bluke Kecil asing dengan diri mereka. Guru-guru tidak
tahu bagaimana caranya menghadapi Bluke Kecil, karena tingkah Bluke Kecil
sering menimbulkan tanda tanya. Sering, misalnya, Bluke Kecil tertidur pulas
pada waktu guru sedang mengajar, dan karena ayah Bluke Kecil selalu
mendengkur keras pada waktu tidur, Bluke Kecil pun sering mendengkur keras
pada waktu guru mengajar.
Namun, kendati Bluke Kecil sering tertidur dengan dengkur yang amat
meresahkan, ternyata Bluke Kecil sanggup menyimak kata demi kata semua
gurunya. Pada suatu hari, misalnya, guru ilmu bumi dengan penuh wibawa
mengatakan, ibu kota Nepal adalah Sikkim. Langsung, dalam keadaan matanya
masih menutup berat, Bluke Kecil mengacungkan tangan, sambil berkata:
''Kalau petanya kecil, memang tampaknya Sikkim menempel di Nepal. Karena
itu, biasalah manakala orang-orang menganggap Sikkim ibu kota Nepal. Namun,
Sikkim itu negara tetangga Nepal. Ibu kota Nepal tentu saja Katmandu, dan
semua orang seharusnya sudah tahu. Hah, hah, hah ..."
Akhirnya, semua guru berusaha untuk senang kepada Bluke Kecil, tapi semua
guru tetap tidak senang kepada Bluke Kecil. Dan semua guru juga sadar, mereka
hanyalah makhluk-makhluk bodoh, tidak tahu bagaimana harus mengajar karena
otak mereka kosong, dan tidak tahu bagaimana berkata-kata dengan meyakinkan
di hadapan semua murid, karena Bluke Kecil pasti tahu, apa yang mereka katakan
mungkin keliru.
Akhirnya Bluke Kecil juga sadar, ayahnya menjadi penjinak binatang buas
bukan sekadar mengikuti darah nenek-moyangnya yang memang sejak dahulu
menjadi penjinak binatang buas, namun karena, dan inilah yang penting,
ayahnya melarikan diri dari kegagalan. Bluke Kecil dapat menebak, ketika mengelus-elus
zripanzea ayahnya merasa sedang berada di Argentina karena asal-usul
binatang buas zripanzea adalah Argentina, pada waktu menimang-nimang bayi
lodvivalia mamalia layaknya ayahnya sedang berada di Uganda, dan pada waktu
memandikan norgazus psinomalia ayahnya merasa seakan-akan berada di Babilon
zaman dahulu kala, karena dari situlah asal-usul binatang buas yang sedang
dia mandikan.
Bluke Kecil juga menduga, ibunya menjadi sopir taksi, padahal kalau mau
pasti mendapat pekerjaan lain dengan gaji lebih baik, karena ibunya, seperti
juga ayahnya, adalah makhluk yang gagal. Dengan mengendarai mobil ke
mana-mana, meskipun jarang ke luar kota, ibunya membayangkan sedang bepergian
ke ujung-ujung lain dunia. Ibunya juga sering mengajak penumpang-penumpangnya
untuk berputar-putar menempuh jarak yang lebih jauh sambil mengobrol
macam-macam tanpa meminta bayaran tambahan, tidak lain karena, inilah dugaan
Bluke Kecil, ibunya membayangkan sedang berkeliling dunia dan mengobrol dengan
orang-orang dari negeri antah-berantah yang amat jauh.
Dugaan Bluke Kecil mungkin benar: ibunya sering mendapat tip berupa uang
asing, kaos oblong dengan gambar dan kata-kata negeri asing, rokok merek luar
negeri, gantungan kunci dari berbagai negara, dan entah apa lagi. Semua
barang asing itu sering ditimang-timang ibunya, dan mungkin karena itu
pulalah, ibunya tidak pernah memperhatikan Bluke Kecil dengan
sungguh-sungguh.
Tanpa diduga-duga, pada suatu hari setelah sekolah usai, seorang guru baru
pindahan dari kota lain menahan Bluke Kecil.
''He, Bluke Kecil, boleh kan sekali tempo saya main-main ke rumah kamu?''
Mata Bluke Kecil mendelong.
''Begini, Bluke Kecil. Kamu sekolah terlambat tiga tahun. Lalu kamu sering
ngalamun. Sering pula tidur. Ternyata kamu pandai. Inilah ciri-ciri anak
melarat. Bukan anak melarat biasa, tapi anak melarat yang sudah tidak
mempunyai ayah. Ibu kamu pasti perempuan hebat."
Tanpa tahu sebabnya, Bluke Kecil menurut ketika Bapak Guru mengajak ke rumah
makan.
''Jangan khawatir pulang terlambat, Bluke Kecil. Nanti kamu saya antar
pulang. Saya ingin ketemu ibu kamu."
''Maaf, Bapak Guru, ayah saya masih ada.''
''Kalau begitu, ibu kamu sudah tidak ada.''
''Maaf, Bapak Guru, ibu saya masih ada.''
''Ah, mosok begitu? Kamu pasti punya ibu tapi ayah kamu sudah tidak
ada."
Bluke Kecil diam sebentar, kemudian, dengan malu-malu mengeluarkan sebuah
potret dari tasnya. Potret itu diambil ketika ayah dan ibunya bersikap ramah,
mengajak Bluke Kecil berjalan-jalan, masuk toko, mengunjungi rumah makan,
lalu menonton sirkus. Bluke Kecil sadar, dengan menyimpan potret itu,
sebenarnya dia sangat mencintai ayah dan ibunya.
''Maaf, Bluke Kecil, saya kira kamu sudah tidak punya ayah. Begini, Bluke
Kecil, saya sudah tidak punya istri. Tuhan Mahabesar. Arwah istri saya,
dengan perkenan Tuhan Mahabesar, sekarang sudah berada di surga. Tadi malam
saya didatangi arwah istri saya bukan dalam mimpi, namun ketika saya sedang
makan. Istri saya minta maaf tidak bisa menemani. Sebelum pergi, istri saya,
maksud saya arwah istri saya, minta saya mencari istri baru.''
''Maksud Bapak Guru, Bapak Guru mau mengambil ibu saya menjadi istri Bapak
Guru?''
''Ah, itu tidak penting, Bluke Kecil. Yang penting ternyata kamu masih
mempunyai ayah.''
Setelah berhenti sebentar, Bapak Guru berkata: ''Begini, Bluke Kecil, katakan
kepada ibu kamu, kalau ayah kamu sudah tidak ada, Bapak Guru mau. Bapak Guru
setia menunggu."
''Kalau ayah saya tetap ada, Bapak Guru?"
''Makanya katakan, Bapak Guru mau, Bapak Guru setia menunggu.''
Setelah diam sebentar, Bapak Guru menyambung: ''Apa pekerjaan ayah kamu,
Bluke Kecil?''
''Penjinak binatang buas.''
''Itu mungkin agak penting, Bluke Kecil. Sejarah menunjukkan, hampir semua
penjinak binatang buas akhirnya diterkam binatang buas."
''Andaikata ayah saya pilot, Bapak Guru?''
''Pesawat terbang kan bisa jatuh.''
''Andaikata ayah saya kapten kapal, Bapak Guru?"
''Kapal pun pada suatu saat bisa tenggelam.''
''Andaikata ayah saya pegawai kantor pos, Bapak Guru?''
''Pegawai kantor pos kan bisa saja ketabrak mobil.''
''Mengapa Bapak Guru kurang ajar?''
''Hus! Jangan begitu, Bluke Kecil. Kamu kan mengandai-andai. Makanya saya
juga mengandai-andai."
''Tapi ayah saya benar-benar penjinak binatang buas, Bapak Guru.''
''Itu kenyataan, Bluke Kecil. Namun kenyataan pun tidak lepas dari
pengandaian. Ingatlah pepatah ''senjata makan tuan''. Itu pengandaian,
bukan?''
Bluke Kecil dan Bapak Guru saling berpandangan.
''Begini saja, Bluke Kecil. Kamu akan saya ajak nonton teater. Bukan hanya
sekali tempo, namun sering. Dengan nonton teater kita dapat melihat
cerita-cerita bagus. Kita melihat Van Couver, Shanghai, Sidney, Surabaya,
Kopenhagen, Berlin. Semua ada di teater.''
Bluke Kecil berpikir: ''Ini dia, manusia gagal!''
''Bagaimana, Bluke Kecil? Bilang pada ibu kamu, ya, Bapak Guru mau. Bapak
Guru setia menunggu."
Bluke kecil dan Bapak Guru saling berpandangan. ***
|