
Langsa Panas
Oleh Ibnu Sa'dan
BULAN Mei 2010, seluruh wilayah Kota Langsa dilanda panas. Kemarau naik diarak gumpalan-gumpalan awan yang enggan beranjak. Angin pun raib, sesekali berembus malas, bahkan tak mampu menggerakkan pucuk daun pohon Asam Jawa yang tumbuh berjajar di samping lapangan merdeka.
Hampir seluruh warga Kota Langsa hidupnya menjadi gerah, di sana-sini mudah ditemukan orang yang gampang marah. Di waraung-warung kopi, di gardu jaga, di tempat tunggu beroabat rumah sakit, di rumah pegadaian, dan di sebarang tempat lainnya selalu ditemukan orang-orang frustasi. Mereka bicara ngorol ngidul kian kemari, mendiskusikan berita-berita koran, sambil minum kopi pancung dari pagi hingga siang, dan diskusi-diskusi itu selalu berujung pada satu topik yang paling seru; yakni mencaci maki pemerintah.
Apapun kebijakan yang telah dilakukan pemerintah yang disetujui anggota DPRK setempat, dimata orang-orang yang sudah dilanda frustasi berat ini, satu pun tidak ada yang beres. Maka itu, perilaku para pejabat selaku orang pemerintah dan perilaku para anggota dewan selaku wakil rakyat, sama saja, keduanya pantas dihujat karena sikap mereka semakin jauh keberpihakannya kepada rakyat. Demikianlah kira-kira kesimpulan dari setiap diskusi itu.
Mereka yang gemar berdiskusi ini, paling menonjol terdiri dari lima profesi yang tumpang tindih; para mantan caleg yang gagal menadapat kursi di DPR, pegawai negri yang tak ada jabatan sehingga tak punya kesempatan melakukan korupsi, pengangguran, pensiunan, dan para kontraktor yang tidak mendapat proyek. Mereka tidak hentinya-hentinya menyalahkan pemerintah. Menyorot kinerja SKPD-SKPD, mengumpat anggota dewan, mengkritik kebijakan walikota, dan tidak ketinggalan kadang-kadang memaki-maki aparat penegak hukum, serta menyumpah-nyumpah wartawan karena tidak menulis berita tentang berbagai ketimpangan yang terjadi.
Puncak diskusi yang paling panas, biasanya, kalau sudah menyentuh materi tentang kebijakan Walikota Drs. Zulkifli Zainon, MM yang selama ini keberadaannya lebih sering di luar daerah ketimbang di Langsa. Karena sejak kepemimpinnannya, menurut penilaian orang-orang frustasi ini, tidak ada pembangunan apapun yang berpihak kepada rakyat. Jalan-jalan putus dan jembatan rusak di desa-desa dianggap tidak terlalu penting untuk diperbaiki, karena ada hal lain yang lebih mendesak yaitu membiayai anggota dewan study banding, membeli kenderaan-kenderaan dinas, atau membangun baru trotoar di Jalan A Yani.
Tentang perbaikan jalan putus dan jembatan rusak dianggap tidak penting, menurut mereka, karena tempat-tempat tersebut tidak pernah dilalui oleh para pejabat dan anggota dewan. Paling jalan dan jembatan itu, seperti yang terdapat di Desa Meurandeh hanya dipakai para mahasiswa yang menuju ke kampus STAIN Cot Kala dan Unsam, serta sebagian masyarakat yang tinggal di daerah itu. Hal ini tentu saja jauh berbeda dengan Jalan A Yani, karena keberadaannya pas di pusat kota, tiap hari pejabat dan anggota dewan lalulalang di situ, bahkan tamu-tamu dari luar daerah pun sering melintasinya. Maka itu trotoarnya meskipun masih ada yang lama perlu diperbaiki, walaupun tidak pernah dipakai para pejalan kaki, bahkan lebih banyak digunakan para pedagang liar, dan kemungkinan tahun depan pun akan dibongkar lagi untuk perluasan jalan seperti yang terjadi di kawasan bekas perumahan pegawai PJKA.
Menggelagaknya matahari, tipisnya lapisan ozon, diamnya angin, sekarang sedang berjalan searah berbanding lurus dengan panasnya hati sebagian warga Kota Langsa. Tapi tentunya berbanding terbalik dengan kondisi yang mengitari para petinggi di daerah ini, mereka tidur di rumahnya dalam kamar ber AC, di raung kerja ada AC, di dalam mobil juga ada AC, dan kalau lagi sedang bosan bisa leluasa menggunakan SPPD pergi bolak balik ke Jakarta naik pesawat terbang seperti orang-orang kampung pergi ke jamban.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar