Lazada Philippines

Kursus Bahasa Inggris Kilat

Senin, 27 Desember 2010

Bahasa Inggris

Bahasa Inggris
SELAIN menggabungkan nama ayah dan nama anak tertua, orang melayu udik biasa pula menamai anak dengan bunyi senada seirama. Jika nama anak tertua Murad, misalnya, tujuh orang adik di bawahnya adalah Munzir, Munaf, Munir, Muntaha, Munawaroh, Mun’im, dan Munmun. Seringkali nama-nama itu tertukar. Dalam keadaan panik, umpama, salah satu anak menyiramkan minyak tanah pada kambing yang akan dikurbankan pada hari Raya Idul Adha, dalam rangka membuat obor—ini berdasarkan pengalaman pribadiku—ibnuya hanya berteriak-teriak histeris, “Mun! Mun! Mun!” sambil berpikir keras mengingat-ingat Mun yang mana yang berkelakuan macam setan itu.
Ajaibnya budaya. Selidik punya selidik, ternyata huruf awal nama anak sering tidak ada hubungannnya dengan huruf awal nama ayah-ibunya. Artinya, huruf awal itu dipilih suka-suka saja sesuai suasana hati. Maka dapat disimpulkan bahwa kekacauan itu disengaja dan merupakan bagian dari seni punya anak banyak, dan kasih sayang yang terperikan pada anak yang berderet-deret macam pagar itu.
Lalu, ada pula kebiasaan yang unik. Anak muda sering dipanggil Boi. Ini tak ada hubungannya dengan Boy dalam bahasa Inggris sebab anak perempuan pun sering dipanggil Boi. Namun, Enong adalah kisah yang berbeda. Enong adalah panggilan sayang untuk anak perempuan. Begitulah cara Zamzami memanggil anak tertuanya.
**********************
Enong duduk di kelas enam SD dan merupakan siswa yang cerdas. Ia selalu menjadi juara kelas. Pelajarannya faforitnya bahasa Inggris dan cita-citanya ingin menjadi guru seperti Bu Nizam.
Ibu Nizam adalah guru senior. Ia berasal dari Pematang Siantar. Puluhan tahun lampau ia ditempatkan pemerintah untuk mengajara di kampung kami. Ia sangat dihormati karena keberaniannya merantau demikian jauh dalam usia sangat muda, demi pendidikan. Dialah guru bahasa Inggris pertama di kampung kami.
Zamzami amat bangga akan cita-cita Enong. Ia ingin Enong mendapat kesempatan pendidikan setingi-tingginya. Sekolah Enong adalah nomor satu baginya. Setelah apa pun bekerja, ia tak pernah lalai menjemput Enong. Sering Zamzami bercerita pada Sirun.
“Run, dapatkah kau bayangkan, anakku mau menjadi guru sebuah basaha dari Barat?”
Sirun takjub.
“Kita-kita ini, Run, bahasa Indonesia pun tak lancar.”
“Bahasa dari Barat? Bukan main, Bang, bukan main.”
Kemungkinan menjadi guru dari sebuah bahasa yang asing dari Barat itu pula yang membuat Zamzami tak pernah mengeluh meski harus bekerja membanting tulang seperti kuda beban. Ia berusaha memenuhi apa pun yang diperlukan Enong untuk cita-cita hebatnya itu.
Zamzami sering mendengar Enong berbicara soal kamus bahasa Inggris. Dari nada suaranya, ia tahu putrinya ingin sekali punya kamus. Sebaliknya, meskipun masih kecil, Enong paham bahwa ayahnya miskin. Ia tak pernah minta dibelikan kamus, tak pernah minta dibelikan apa pun.
Zamzami sendiri pernah melihat kamus yang hebat di pedagang buku bekas kaki lima di Tanjung Pandan. Kamus itu adalah Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata. Sejak melihat kamus itu dan mengenang keinginan putrinya, membeli kamus telah menjadi impian Zamzami dari hari ke hari. Ia bekerja lebih keras di ladang tambang dan menambah penghasilan dengan berjualan air nira setiap ada pertunjukan orkes Melayu. Hari Sabtu ia ke laut mencari kerang untuk dijual di pasar ikan. Hari Minggu ia berjualan tebu yang ditusukkan dengan lidi. Setelah berbulan-bulan seperti itu dan memfokuskan pikirannya hanya untuk membeli kamus bahasa Inggris untuk anaknya, akhirnya Zamzami punya uang lebih. Dengan gembira ia berkata,
“Mulai sekarang, jangan kau cemas lagi, Nong, Ayah akan belikan kamus untukmu. Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata!”
Enong terbelalak
“Stu miliar?” napasnya tertahan.
“Iya, Nong, tak kurang dari satu miliar kata!”
Wajah Enong pucat. Ia terpana karena akan segera punya kamus dan karena kamus itu berisi satu miliar kata! Lalu, ia saling menyentuhkan ujung-ujung jarinya dan mulutnya komat-kamit menghitung jumlah nol dalam angka satu miliar.
“Satu miliar itu banyak sekali, Nong. Ayah pun tak tahu berapa jumlah nolnya. Tujuh belas barangkali.”
Mulut Enong masih komat-kamit dan jarinya masih sibuk menghitung jumlah nol dalam angka satu miliar.

Esoknya, mata Enong merah. Zamzami tahu, anaknya pasti tak bisa tidur karena terus menerus membayangkan kamus itu. Maka, tanpa ambil tempo, ia segera mengajak Sirun ke Tanjung Pandan. Mereka bersepeda hampir seratus kilometer.
Senangnya Zamzami mendapati kamus yang dilihatnya dulu masih ada di pedagang kaki lima buku bekas itu. Terbayang olehnya sinar mata anaknya nanti jika menerima kamus itu. Ia menimang-nimangnya terkagum-kagum pada tulisan di sampulnya Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata:1.000.000.000 Kata. Diikutinya pelan-pelan angka nol itu. Baru ia tahu bahwa jumlah nol dalam satu miliar ada sembilan.
Zamzami sempat heran melihat kamus itu ternyata ringan dan tipis saja. Padahal, isinya satu miliar kata. Jiawanya yang lugu berkata, mungkin yang dimaksud pengarang buku itu bukan kata, tapi huruf. Pengarangnya mungkin salah tulis, seharusnya satu miliar huruf. Tapi, andai kata jumlah huruf pun, masih tetaplah buku itu terlalu tipis. Sekali lagi, hatinya yang putih, tetap saja membela penyusun kamus itu, Drs. Ir. Siapa, M.B.A, B.A., yang sama sekali tak dikenalnya.
“Kurasa kamus ini macam Kho Ping Hoo, Run,” katanya pada Sirun.
“Ini pasti baru jilid satu. Nanti kalau sudah lengkap empat delapan jilid, barulah jumlah katanya tergapai satu miliar. Macam mana pendapatmu, Run?”
“Kemungkinan besar, Bang.”
Jika menyangkut buku, Sirun serupa tikus mendengar pembicaraan ayam. Gelap. Sola begitu, ia akan percaya pada apa pun yang dikatakan oleh siapa pun, sebab ia tak pernah sekolah.
“Tak apalah, berarti aku masih harus menabung. Bukan begitu, Run?”
“Kemungkinan besar, Bang.”
Zamzami malah senang karena akan memiliki 48 jilid kamus. Baginya, kamus-kamus itu dapat menjadi koleksi yang berharga. Mungkin pula ia berpikir, semakin banyak ia dapat membelikan anaknya kamus, semakin anaknya senang. Ia juga kagum pada orang yang mampu membuat kamus. Ia menatap deretan gelar sarjana Drs. Siapa yang menyusun kamus itu sambil membayangkan anaknya menjadi guru bahasa Inggris.
“Enong akan menjadi guru bahasa Inggris yang baik dengan kamus ini, Run.”
Sirun mengangguk-angguk dengan khidmat.
“Kemungkinan besar, Bang.”
Pedagang buku bekas kaki lima tertarik melihat semangat Zamzami, yang tampak seperti baru menemukan benda ajaib. Ia bertanya, mengapa begitu riang?
“Buku ini untuk anakku, Pak Cik.”
“Berarti hadiah untuk anak. Biar lebih berkesan, orang di kota biasa melihat sesuatu di halaman muka. Tanda tangan, ucapan salam, ucapana selamat ulang tahun, atau apa saja.”
“Begitukah?”
“Anak perempuankah?”
“Iya, Pak Cik, sudah kelas enam.”
“Elok kalau disampuli dengan kertas kado yang cantik. Anak perempuan akan senang hatinya.”
Mata Zamzami berbinar-binar. Ia pergi sebentar, lalu kembali membawa kerta kado dan menyampulinya di depan pedagang kaki lima itu. Kemudian, ia minta diajari cara menulis ucapan di halaman muka itu. Setelah berunding cukup lama, ia menemukan kalimat yang ingin ditulisnya. Ia mengukirnya dengan pena, kata demi kata.
Sementara itu, enong hilir mudik di beranda menunggu ayahnya kembali dari Tanjung Pandan. Seharian ia tak enak makan karena pikirannya tak dapat lepas dari Kamus Bahasa inggris Satu Miliar Kata itu. Ketika ayahnya tiba, ia menyongsong di pekarangan. Ia melonjak-lonjak senang menerima kamus itu.
“Ini baru jilid satu, Nong. Nanti kalau ada sambungannya, Ayah belikan lagi,” kata ayahnya sambil menyeka keringat.
Zamzami pun gembira karena pendapat pedagang buku bekas kaki lima itu semuanya benar. Eong berulangkali memuji indahnya sampul kamus itu. Zamzami mengatakan bahwa ia sendiri yang memilih kertas sampul itu dan ada tulisan untuk Enong di halaman muka. Enong membukanya dan menemukan tulisan itu. Ia membacanya.
Buku ini untuk anakku, Enong.
Kamus satu miliar kata.
Cukuplah untukmu sampai bisa menjadi guru bahasa Inggris seperti Ibu Nizam.
Kejarlah cita-citamu, jangan menyerah, semoga sukses.
Tertanda,
Ayahmu
Enong terdiam, lalu ia menangis untuk sebuah alasan yang ia tidak mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar