Lazada Philippines

Kursus Bahasa Inggris Kilat

Senin, 27 Desember 2010

Lelaki Penyayang

Lelaki Penyayang
Syalimah gembira karena suaminya mengatakan akan memberinya hadiah kejutan. Syalimah tak tahan.
“Aih, janganlah bersenda, Pak Cik. Kita ini orang miskin. Orang miskin tak kenal kejutan.”
Mereka tersenyum.
“Kejutan- kejutan begitu, kebiasaan orang kaya. Orang macam kita, ni? Saban hari terkejut. Datanglah ke pasar kalau Pak Cik tak percaya.”
Suaminya –Zamzami—tahun benar maksud istrinya. Harga-harga selalu membuat mereka terperanjat.
“Telah lama kau minta,” kata Zamzami dengan lembut.
Syalimah kian ingin tahu. Waktu mengantar Zamzami ke pekarangan dan menyampirkan bungkus rantang bekal makanan di setang sepeda, ia bertanya lagi, Zamzami tetap tak menjawab.
“Sudah bertahun-tahun kau inginkan, baru bisa kubelikan sekarang, maaf.”
Zamzami meninggalkan pekarangan, namun ia kembali. Ia mengatakan ingin mengajak Syalimah melihat-lihat bendungan.
“Apa Yahnong takkan bekerja?”
Yahnong, singkatan untuk ayah bagi anak tertua mereka, Enong. Kebiasaan orang Melayu menyatakan sayang pada anak tertua dengan menggabungkan nama ayah dan nama anak tertua itu.
Bendungan itu tak jauh dari rumah mereka. Dulu dipakai Belanda untuk membendung anak-anak Sungai Linggang agar kapal keruk dapat beroperasi. Sampai di sana, mereka hanya diam memandangi permukaan danau yang tenang. Tak bicara, seperti mereka dulu sering bertemu di situ.
Mereka pulang. Zamzami berangkat kerja dan Syalimah tak memikirkan kejutan itu. Ia bahkan lupa pernah meminta apa dari suaminya. Delapan belas tahun mereka telah berumah tangga, baru kali ini suaminya akan memberi kejutan. Semua hal, dalam keluarga mereka yang sederhana, gampang diduga. Penghasilan beberapa ribu rupiah mendulang timah, cukup untuk membeli beras beberapa kilogram, untuk menyambung hidup beberapa hari. Semuanya dipahami Syalimah di luar kepala. Tak ada rahasia, tak ada yang tak biasa, dan tak ada harapan yang muluk-muluk. Tahu-tahu, macam bakung berbunga di musim kemarau, suaminya ingin memberi kejutan.
Syalimah dan Zamzami berjumpa waktu pengajian ketika mereka masih remaja. Zamzami yang pemalu, begitu pula Syalimah, menyimpan rasa suka diam-diam. Zamzami tak pernah berani mengatakan maksud hatinya, dan Syalimah takut menempatkan diri pada satu keadaan sehingga lelaki lugu itu dapat mendekatinya.
Namun, lirikan curi-curi di tengah keramaian itu kian hari kian tak tertahankan. Zamzami mengurangi kecapatannya menambah juz mengaji, padahal ia membaca Alquran lebih baik dari ia membaca huruf Latin. Tujuannya agar makin lama dapat berada di dalam kelas yang sama dengan Syalimah. Berulangkali ditanyakannya pada ustaz hal-hal yang dia sudah tahu. Dibentak bebal, ia tersenyum sambil menunduk. Adapun Syalimah, berpura-pura bodoh membaca tajwid, dimarahi ustaz, biarlah. Maksudnya serupa dengan maksud Zamzami. Semua taktik yang merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut dengan satu kata, itulah cinta.
Sungguh indah, atas saran ustaz—lantaran mencium gelagat yang tidak beres antara dua murid mengaji yang tak tahu cara mengungkap cinta itu—mereka malah dijodohkan.
Sejak mengenal Zamzami, Syalimah tahu ia akan bahagia hidup bersama lelaki itu, meski, ia juga mahfum, ada satu hal yang selalu ia hindari: minta dibelikan apapu pun. Sebab lelaki baik hati yang dicintainya itu hanyalah lelaki miskin yang berasal dari keluarga pendulang timah. Sebaliknya, Syalimah tak perlu dibelikan harta benda. Ia telah punya Zamzami dan itu lebih dari cukup. Zamzami adalah harta bendanya yang paling berharga, melebihi segalanya. Lelaki itu amat penyayang pada keluarga sehingga Syalimah tak memerlukan apa pun lagi di dunia ini.
Menjelang tengah hari, sebuah mobil pikap berhenti di depan rumah. Dua lelaki mengangkat benda yang dibungkus dengan terpal dari bak mobil itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Syalimah bertanya-tanya. Mereka tak mau menjawab.
“Malam ini ada pasar malam di Manggar, Mak Cik,” kata salah satu lelaki itu sambil tersenyum.
Syalimah memandangi benda itu dengan gugup, tapi gembira. Pasti benda itu yang dimaksud suaminya dengan kejutan. Rupanya sungguh luar biasa pengaruh sebuah kejutan. Sekarang ia paham mengapa orang-orang kaya menyukai kejutan. Kucing-kucingnya yang lucu melingkari benda itu, menggodanya untuk mendekat. Syalimah melangkah maju, namun di tengah jalan, ia ragu. Ia kembali ke ambang pintu.
Syalimah menertawakan kelakuannya sendiri karena keranjingan menikmati sensasi sebuah kejutan. Lalu, ia berpikir, kejutan itu tak sanggup ia atasi dan terlalu indah untuk ia nikmati sendiri. Ia akan menunggu Enong, putri tertuanya itu, pulang dari sekolah. Mereka akan menikmati kejutan itu berdua. Tentu akan sangat menyenangkan.
Namun, Syalimah tak tahan untuk segera tahu apa yang dibelikan suaminya untuknya, sedangkan Enong baru akan pulang sore nanti. Sesekali ia melongok ke arah benda yang meisterius itu. Ia memberanikan diri dan melangkah pelan mendekatinya. Di depan benda itu jantungnya berdebar-debar. Ia memejamkan mata dan menarik terpal. Ia membuka matanya dan terkejut tak kepalang melihat sesuatu berkilauan: sepeda Sim King made in RRC!
Syalimah terhenyak. Ia tak menyangka sepeda itu dihadiahkan Zamzami untuknya sebagai kejutan. Bukan karena sepeda itu akan menjadi benda paling mahal di rumah mereka, melainkan karena ia memintanya hampir empat tahun silam. Itu pun sesungguhnya bukan meminta. Waktu mengandung anak bungsunya, ia berkisah pada Zamzami, betapa dulu ia bahagia sering dibonceng almarhum ayahnya naik sepeda ke pasar malam, dan di sana dibelikan balon gas.
“Kalau anak ini lahir,” kata Syalimah bercanda. “Sepeda kita tak cukup lagi untuk membonceng anak-anak ke pasar malam.” Karena anak mereka akan menjadi empat, sedangkan mereka hanya punya dua sepeda reyot.
Syalimah tak dapat menahan air matanya. Ia terharu mengenang suaminya telah menyimpan percakapan itu selama bertahun-tahun dan memegangnya sebagai sebuah permintaan. Betapa baik hati lelaki itu. Lalu, Syalimah terisak begitu ingat bahwa hari itu Sabtu dan malam nanti ada pasar malam di Manggar. Kini ia paham maksud lelaki yang mengantarkan sepeda itu. Suaminya pasti merencanakan berangkat sekeluarga naik sepeda ke pasar malam, seperti dulu ayah Syalimah selalu memboncengnya naik sepeda ke pasar malam.
Selanjutnya, Syalimah hilir mudik menghitung bagaimana membagi ank-anaknya pada tiga sepeda. Sang ayah, satu-satunya lelaki dalam keluarga, berarti yang paling kuat, akan membonceng keranjang pempang dan di dalamnya akan dimasukkan si nomor dua, gadis kecil yang bongsor itu.
Si nomor tiga, yang cerewet, akan dibonceng oleh kakaknya, Enong, dan si bungsu akan dibonceng Ibu, naik sepeda baru Sim King made in RRC, hadiah kejutan itu. Tak terperikan bahagianya perjalanan ke pasar malam itu nanti. Meski sudah menetapkan pengaturan pembagian sepeda, Syalimah berulang kali menghitungnya di dalam hati, karena perhitungan itu menimbulkan perasaan indah dalam hatinya.
Kemudian, Syalimah tak sabar menunggu suaminya pulang. Ia berdiri di ambang jendela, tak lepas memandangi langit yang mendung dan ujung jalan yang kosong. Ia ingin segera melihat suaminya berbelok di pertigaan di ujung jalan sana, pulang menuju rumah. Ia akan menyongsongnya di pekarangan dan mengatakan betapa indahnya sebuah kejutan. Ia mau mengatakan pula bahwa mulai saat itu mereka harus lebih sering memberi kejutan karena kejutan ternyata indah.
Syalimah gembira melihat seseorang bersepeda dengan cepat. Jika orang itu--Sirun–telah pulang, pasti suaminya segera pula pulang. Namun, Sirun berbelok menuju rumah Syalimah dengan tergesa-gesa. Buruh kasar itu langsung masuk dan dengan gemetar mengatakan telah terjadi kecelakaan. Zamzami tertimbun tanah. Syalimah terpaku di tempatnya berdiri. Napasnya tercekat. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Sirun memintanya menitipkan anak-anaknya kepada tetangga dan mengajaknya ikut ke tambang.
Sampai di sana, Syalimah mendengar orang berteriak-teriak panik dan menggunakan alat apa saja untuk menggali tanah yang menimbun Zamzami. Para penambang yang tak punya cangkul menggali dengan tangannya, secepat-cepatnya. Syalimah berlari dan bergabung dengan mereka. Ia menggali tanah dengan tangannya sambil tersedak-sedak memanggil-manggil suaminya. Keadaan semakin sulit karena hujan turun. Tanah yang menimbun Zamzami berubah menjadi lumpur. Para penambang berebut dengan waktu. Jika terlambat, Zamzami pasti tak tertolong dan Zamzami mulai memasuki saat-saat tak terlong itu. Syalimah menggali seperti orang lupa diri sambil menangis, sampai berdarah ujung-ujung jarinya. Ia berdoa agar Zamzami tertimbun dalam keadaan tertelungkup. Penambang yang tertimbun dalam keadaan tertelantang tak pernah dapat diselamatkan. Galian semakin dalam, Zamzami belum tampak juga. Tiba-tiba Syalimah melihat sesuatu. Ia menjerit.
“Ini tangannya! Ini tanagannya!”
Orang-oarng menghambur ke arah tangan itu. Syalimah gemetar karena tangan yang menjulur itu terbuka. Suaminya telah tertimbun dalam keadaan terlentang. Para penambang cepat-cepat menarik Zamzami. Ketika berhasil ditarik, lelaki kurus itu tampak seperti tak bertulang. Tubuhnya telah patah. Pakaiannya compang-camping menyedihkan. Zamzami diam tak bergerak. Semuanya telah terlambat.
Syalimah tersedu sedan. Ia bersimpuh di samping suaminya yang telah mati. Ia mengangkat kepala suaminya ke atas pangkuannya. Kepala itu terkulai seperti mau bersandar. Syalimah membasuh wajah Zamzami dengan air hujan, lalu tampak seraut wajah yang pias dan sepasang mata yang lugu. Syalimah mendekap lelaki penyayang itu kua-kuat. Ia meratap-ratap memanggil suaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar