Lazada Philippines

Kursus Bahasa Inggris Kilat

Senin, 27 Desember 2010

Kemarau

BARANGKALI karena hawa panas yang tidak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau terlanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai September.

Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduan wanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus.

Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikt menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan nafas yang terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu kemana. Melihat jam itu sejak kecil aku punya firasat bahwa jika nanti dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.

Namun, tak pernah kami risaukan semua itu, karena kami punya museum, dan museum kami paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya, sebab ia museum sekaligus kebun binatang.

Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan Assalamualaikum, demi menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulubalang antah berantah. Uang kecil yang diselipkan ke dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya, agar tidak kualat.

Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang yang melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orang utan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan nafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat orang-orang udik yang menonton mereka di dalam kandang. Konon, mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah apkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, dimana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tidak pernah berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang.

Jika kemarau makin menggelegak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu-mangu di pinggir sungai. Kapal itu hanya tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar nan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu.

Saat maskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk maraup timah. Kini, satu-satunya ang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.
Kapal keruk pernah menjadi pendendang irama hidup kami. Ia adalah bagian penting dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Takkan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari Ibu.

Jika melihatku terbangun, Ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam rumah kudengar Ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi saling beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.

Sering aku minta dibangunkan jika Ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin melihat Ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada taspen di sakunya, yang berbau sangat lelaki.

Ayah melangkah tangkas sambil menyandang ransel berisi tang, ragum, dan sekelurga kunci inggris. Kunci-kunci baja putuh itu jika dibariskan akan membentuk satu segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci yang paling besar, dan tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya.
Aku senang melihat Ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.

Berlangsung terus seperti itu, hari demi hari, selama bertahun-tahun, tak berubah. Setelah dewasa, jika secara tak sengaja aku terbangun pukul dua pagi, di negeri mana pun aku berada, seakan kudengar suara klakson mobil truk, lalu menguar suara orang-orang mengucapkan salam dan gemerincing besi saling beradu. Aku termangu. Kerinduan pada Ayah menjadi tak tertanggungkan. Tanpa kusadari, air mataku mengalir, mengalir sendiri, tak mampu kutahan-tahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar